Jumat, 14 Agustus 2020

Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Sydrome (PRRS) di Sumatera Utara

 

Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit  Porcine Reproductive and Respiratory Sydrome (PRRS) di Sumatera Utara

 

Oleh :

Iyan Kurniawan1

Arif Setiani Wahyuning Tyas2

 (Medik Veteriner Muda Balai Besar Karantina Pertanian Belawan)

 

 

ABSTRAK

 

Porcine reproductive and respiratory syndropme (PRRS) merupakan penyakit menular pada babi, yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi. Kerugian tersebut dapat berupa kematian babi, keguguran dan kematian pada anak babi yang baru dilahirkan dan mumifikasi. Pemerintah telah menetapkan PRRS sebagai penyakit hewan  menular strategis. Metode yang digunakan untuk menganalisa dampak kerugian ekonomi akibat PRRS dengan menggunakan perhitungan kerugian ekonomi secara langsung dan tidak langsung. Hasil dari perhitungan dampak kerugian ekonomi ini bermanfaat untuk menentukan tindakan pencegahan terhadap kejadian PRRS di Indonesia khususnya Sumatera Utara.

 

Kata kunci : PRRS, kerugian ekonomi, kerugian langsung, kerugian tidak langsung

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Porcine reproductive and respiratory syndropme (PRRS) atau yang biasa disebut juga dengan swine infertility and respiratory syndrome (SIRS), porcine epidemic abortion and respiratory syndrome (PEARS) atau penyakit telinga biru, merupakan penyakit menular ganas pada babi yang disebabkan virus dengan gejala utama gangguan reproduksi dan pernapasan yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi cukup besar. Kerugian tersebut dapat berupa kematian babi, keguguran dan kematian pada anak babi yang baru dilahirkan dan mumifikasi. Keberadaan virus tersebut baru dilaporkan pertama kali pada tahun 1980-an. Agen penyebab virus PRRS diisolasi pertama kali di Belanda dan dinamakan European type yang diwakili oleh virus Lelystad dan North American type yang diwakili oleh virus VR-2332 yang di isolasi di Amerika pada tahun 1992 (Benfield et al., 1992). Materi genetik kedua tipe virus tersebut adalah sama, yaitu virus ribo nucleic acid (RNA), beramplop, tergolong famili Arteriviridae, beruntai pendek dan tidak bersegmen (Benfield et al., 1992).  

Industri peternakan babi berperan penting  dalam meningkatkan perekonomian masyarakat di beberapa bagian Indonesia. Peternakan babi terkonsentrasi di Provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Utara Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Jumlah babi di seluruh Indonesia diperkirakan delapan juta ekor (Dirjen PKH, 2015), sebagian besar dari populasi tersebut berasal dari peternakan rakyat. Indonesia adalah negara produsen babi terbesar kelima di Asia Tenggara maka harus senantiasa meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya Highly Pathogenic-PRRS. Letupan virus PRRS diindikasikan ada di Sumatera Utara pada tahun 2008 (Hutagaol et al., 2010). Pada tanggal 01 April 2013 diterbitkan surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis yang memasukkan penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) sebagai salah satu penyakit strategis nasional, memberikan suatu perhatian yang baik terhadap penyakit ini. Kurangnya pengaturan dan pelayanan teknis dari pemerintah terhadap sektor peternakan babi, menyebabkan pelaksanaan surveilan tergolong minim dan kesiapsiagaan terhadap munculnya penyakit babi yang baru, termasuk HP-PRRS sangat rendah.

Penyakit PRRS mempunyai dampak ekonomi yang luas pada peternakan babi di Eropa, Amerika Utara, dan Cina. Kerugian akibat penyakit ini terutama akibat kematian, abortus, dan mumifikasi fetus, serta biaya pengobatan yang tinggi karena morbiditas dapat mencapai 100% serta biaya untuk sanitasi. Kerugian lain adalah anak babi yang lahir dari induk yang terinfeksi biasanya lemah dan kerdil sehingga feed conversion rate (FCR) menjadi tinggi (Neumann et al., 2005). Kerugian akibat wabah virus PRRS dapat mencapai $ 236/babi betina dewasa atau sekitar 600 juta dolar per tahun untuk produksi babi di seluruh dunia (Molenpkam et al., 2013).

Dari 280 serum yang diperiksa pada tahun 2008; 11.4% seropositif, pada tahun 2009; 17.5% seropositif (dari 183 serum), tahun 2010; 0 % seropositif (dari 36 serum), tahun 2011; 0% (dari 219 serum), tahun 2012; 22.2% (dari 306 serum), tahun 2013; 5.2% (dari 96 serum). Hasil seropositif kemungkinan karena ternak divaksin, atau pernah terpapar virus PRRS (Martdeliza, 2013)

 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 

Etiologi

Agen penyebab virus PRRS diisolasi pertama kali di Belanda dan dinamakan European type yang diwakili oleh virus Lelystad (Wensvoort et al., 1991) dan North American type yang diwakili oleh virus VR-2332 yang di isolasi di Amerika pada tahun 1992 (Benfield et al., 1992). Materi genetik kedua tipe virus tersebut adalah sama, yaitu virus ribo nucleic acid (RNA), beramplop, tergolong famili Arteriviridae, beruntai pendek dan tidak bersegmen (Benfield et al., 1992). Inaktif dalam ether dan kloroform. Penularan melalui babi yang terinfeksi, tetapi virus juga bisa menular melalui feces, urine, semen dan muntahan.

Virus PRRS dapat diklasifikasi menjadi dua genotipe yang secara genetik sangat berbeda. PRRS tipe 1 atau strain Eropa, dengan penyebaran utamanya di benua Eropa, dan tipe 2 atau strain Amerika utara yang kebanyakan diisolasi di benua Amerika (utara dan selatan) dan juga di Asia. Secara retrospektif, sirkulasi virus PRRS tipe 1 atau tipe 2 sebenarnya sudah ditemukan di China dan Thailand sejak 1996 dan wilayah Mekong River Delta di Vietnam sejak 2000, akan tetapi sebelumnya pada saat itu tidak ada gejala klinis hebat dihubungkan dengan penyakit ini (FAO, 2011; Tun et al., 2011)

Gambaran molekuler dari virus PRRS yang diisolasi dari wabah di China tersebut menunjukkan adanya penghilangan 30 asam amino dari non-struktural protein 2 (NSP2) dan ini kemudian dijadikan sebagai penanda genetik dari virus PRRS baru. Analisa filogenetik isolat-isolat virus dari China diklasifikasikan menjadi 4 sub-kelompok yang sekuens genomnya memiliki kemiripan 99% satu sama lain (FAO, 2011). Dengan penemuan baru tersebut, maka genotipe ini kemudian disebut sebagai virus PRRS strain China. Begitu juga karena gejala klinis dan patogenesitas berbeda dengan PRRS tradisional, maka penyakit ini kemudian disebut highly pathogenic porcine reproductive and respiratory syndrome (HP-PRRS).

Epidemiologi

Penyakit ini dilaporkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1987 (Keffaber, 1989) dan semenjak itu penyakit tersebar di beberapa Negara seperti Kanada, Inggris, Belanda, Asia Tenggara, Malta, Cyprus dan Indonesia. Di Indonesia dilaporkan secara serologis di Sumatera Utara (Sumaryani et al., 1998) dan Kupang (Ketut Santhia et al.,, 1999). Pada tahun 2009 terjadi kasus penyakit babi di Sumatera Utara, penyebab penyakit diidentifikasi sebagai virus PRRS. Distribusi dari penyakit PRRS ini cukup luas di seluruh dunia. Penyakit ini dilaporkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1987 (Keffaber, 1989) dan semenjak itu penyakit tersebar di beberapa Negara seperti Kanada, Inggris, Belanda, Asia Tenggara, Malta, Cyprus, Vietnam dan Indonesia. Pada tahun 2009 terjadi kasus penyakit babi di Sumatera Utara, penyebab penyakit diidentifikasi sebagai virus PRRS. Keterlibatan virus PRRS telah terbukti dalam penelitian serologi dan virologi. Hasil penelitian  menunjukkan rataan antibodi anti-PRRS adalah 13,4% dengan prevalensi virus PRRS sebesar 8,9% (Suartha et al., 2013)

 Infeksi virus PRRS yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1996 merupakan virus yang lebih virulen dan telah menginfeksi populasi babi yang telah divaksinasi dan mengakibatkan tingkat abortus dan kematian yang tinggi (Mengeling et al., 1998), sehingga kasus infeksi virus PRRS tersebut dikenal sebagai infeksi PRRS akut. Kriteria untuk diagnosis PRRS akut, meliputi onset penyakit, tanda klinis (selama 2-4 minggu), kematian lebih dari 5% pada induk babi dan babi hutan, serta tingkat aborsi lebih dari 10% (Zimmerman et al., 1997).

Pada tahun 2006-2007, kasus kematian babi yang sangat tinggi dilaporkan di Cina. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa wabah tersebut disebabkan oleh virus PRRS. Gejala klinis dan patogenesitas dari wabah tersebut berbeda dengan PRRS tradisional. Mortalitas pada kasus di Cina ini dapat lebih dari 60% dan morbiditas dapat mencapai sampai 100% (Tian et al., 2007).

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa virus PRRS Cina tahun 2006 telah menyebar ke Vietnam dan kemudian bersirkulasi secara cepat di negara tersebut dan akhirnya menyebar ke negara-negara Asia Tenggara, meliputi Filipina dan Thailand tahun 2008, Laos dan Kamboja tahun 2010 serta Myanmar tahun 2011 (FAO, 2011).

Gambar 1. Persebaran PRRS di Asia

 

Salah satu penjelasan sehubungan dengan wabah ini adalah turunan virus PRRS tipe NA yang berevolusi menjadi suatu strain yang sangat virulen. Hal ini mungkin terjadi karena adanya tekanan yang dipicu oleh perubahan praktek-praktek peternakan babi di Cina, keterkaitan epidemiologis antara tingginya populasi babi dengan tatanan sistem manajemen dan produksi yang berbeda-beda serta faktor lingkungan (temperatur dan kelembaban) yang menyebabkan virus tersebut harus mempertahankan siklus hidupnya dengan melakukan mutasi, delesi ataupun insersi dan akhirnya virus menjadi lebih virulen. Koinfeksi virus PRRS dengan virus lain, misalnya swine influenza virus, porcine circo virus dan classical swine fever atau bakteri dapat berkontribusi terhadap manifestasi klinis dari virus PRRS yang sangat virulen tersebut (FAO, 2011).

Virus PRRS hanya dapat tumbuh secara in vitro pada biakan sel yang peka seperti pada makrofag alveolar paru-paru. Penyakit PRRS terutama menyerang babi dari semua umur, namun yang paling rentan terserang adalah babi yang berumur muda.

Kejadian PRRS terutama di pengaruhi oleh faktor dan kondisi lingkungan. Kondisi saat dan pasca melahirkan menyebabkan terjadinya stres sehingga kemungkinan terinfeksi virus PRRS menjadi meningkat. Faktor lingkungan kandang yang kotor dikarenakan sistem peternakan tradisonal sehingga sirkulasi udara dan sanitasi buruk menyebabkan penularan virus PRRS meningkat. Penyaringan udara telah terbukti efektif dalam pencegahan penularan melalui udara. Namun biayanya sangat tinggi (Otake et al., 2003). Kemudian lalu lintas ternak yang bebas keluar masuknya babi baru dalam kawanan serta kendaraan yang digunakan untuk mengangkut babi dari satu peternakan ke peternakan yang lain juga merupakan salah satu faktor penularan virus PRRS. Transportasi dengan tindakan biosekuriti tidak memadai (truk dicuci) memainkan peran penting dalam penularan virus dari peternakan ke peternakan (Dee et al., 2005).

Penularan virus ini diketahui dilakukan melalui cara langsung dan tidak langsung. Sejauh ini cara yang paling utama adalah  transmisi dari babi ke babi. Virus menyebar relatif cepat dalam sebuah peternakan yang terinfeksi, dan penyebaran  ini umumnya melalui kontak langsung (Wills et al., 1997). PRRS dapat ditularkan melalui pernafasan, udara tercemar merupakan cara paling potensial dalam penularan virus. Penularan lainnya melalui semen saat kawin alam ataupun saat inseminasi buatan. Air mani yang terkontaminasi memainkan peran penting dalam pengenalan virus ke dalam kawanan negatif (Benfield et al., 2000). Transmisi tidak langsung dari virus PRRS melibatkan vektor, fomites, dan menyebar melalui udara (Otake et al., 2002). Vektor dianggap sebagai salah satu cara penularan virus PRRS. Arthropoda dianggap vektor dalam transmisi PRRSv, tetapi hanya transmisi mekanik (Otake et al., 2010; Pitkin et al., 2009).

Penyakit ini dapat bersifat imunosupresif karena babi yang terserang PRRS dapat meningkatkan infeksi penyakit lainnya yang diakibatkan bakteri Haemophilus parasui, Streptococcus suis, Salmonella spp, Pasteurella multocida atau Actinobacillus pleuropneumoniae. Begitu juga dengan infeksi terus menerus dari PRRS dan Streptococcus suis akan meningkatkan mortalitas.

Gejala Klinis

 Manifestasi klinis penyakit PRRS pada babi secara umum tergantung pada tipe virus dan tingkat patogenitas virus. Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi dari asimptomatik sampai dengan gejala yang multisistemik. Secara umum gejala klinis terbagi dalam bentuk gangguan reproduksi dan pernafasan (Hirose et al.,1995).

Kegagalan reproduksi dan penyakit pernafasan adalah dua komponen utama dari manifestasi klinis infeksi virus PRRS. Dalam kawanan, babi di semua tahapan produksi bisa terinfeksi bersamaan atau berurutan. Presentasi klinis sangat bervariasi dari kawanan dari infeksi tanpa gejala klinis yang jelas untuk wabah menyebabkan angka kematian yang tinggi. Karakteristik keparahan tergantung pada strain virus dan status kekebalan kawanan, serta kehadiran infeksi sekunder dan faktor manajemen (Zimmerman et al., 1997). Pada hari-hari berikutnya terjadi lonjakan aborsi, peningkatan jumlah bayi lahir mati dan mummifikasi fetus, neonatus viabilitas rendah dan tinggi angka kematian pra-sapih merupakan karakteristik dari wabah PRRS parah di kawanan pembibitan.

Virus PRRS menyebabkan kegagalan pernafasan pada babi neonatus, aborsi pada induk bunting (Blaha 2000), gangguan multisistem setelah masa sapih dan penggemukan (Burch 2008). Penyakit ini dapat ditularkan melalui air liur (Prickett et al., 2008.), semen (Yaeger et al., 1993), dan alat transportasi yang tercemar virus (Dee et al,. 2007). Hal itu yang memudahkan penyebaran penyakit PRRS ke peternakan di negara lain terutama yang mengimpor semen untuk bibit babi unggul. Penyebaran dini dari pejantan dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah yang diambil dengan teknik apus darah dari arteri aurikularis (Broes et al,. 2007). Adanya gejala demam pada pejantan tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk diagnosis PRRS (Reicks et al. 2006).

Sejumlah besar ternak kembali ke performa reproduksi yang normal, sementara kawanan lainnya tidak pernah mencapai tingkat performa seperti sebelum infeksi (Dee, 1997). Presentasi karakteristik tanda-tanda klinis pada babi muda di pembibitan adalah sebagai berikut: anoreksia diikuti dengan demam, gangguan pernapasan, batuk, dan tingkat pertumbuhan yang berubah. Dalam beberapa kawanan morbiditas berjalan setinggi 30% dengan mortalitas 10%. Angka-angka ini dapat bervariasi, dan dipengaruhi oleh infeksi  sekunder dengan Streptococcus suis, Hemophilus parasuis, Actinobacillus suis, dan lain-lain (Zimmerman et al., 1997)

Diagnosa

Metode diagnostik telah dikembangkan dan disempurnakan.  Sampel jaringan dari paru-paru, kelenjar getah bening, hati, otak, timus, limpa, dan ginjal diberi formalin  untuk evaluasi mikroskopis dan imunohistokimia (IHC). Metode ini memungkinkan visualisasi dari sel-sel yang mengandung antigen virus PRRS dalam sitoplasma (Magar et al., 1993).

Antibodi fluoresen (FA) dan uji IHC dapat digunakan untuk mendeteksi antigen virus PRRS dalam jaringan. Teknik FA adalah tes yang murah dan cepat digunakan untuk mendeteksi antigen virus pada paru-paru beku dan jaringan limpa. Tes ini sangat spesifik tetapi sangat tidak sensitif, dan hasil tes dipengaruhi oleh autolisis jaringan. Tes IHC lebih sensitif dibandingkan FA  tetapi lebih mahal dan memakan waktu (Magar et al., 1993).

Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode cepat karena tidak memerlukan isolasi virus dalam kultur sel. Secara umum, tes PCR dianggap sangat sensitif dan sangat spesifik (Cristopher-Hennings et al., 2001). Hal ini penting untuk diingat bahwa hasil positif pada PCR menunjukkan adanya RNA virus dan tidak selalu menunjukkan adanya virus PRRS hidup (Bautista et al., 1993).

Serologi adalah metode diagnostik yang paling umum digunakan oleh dokter hewan lapangan karena serum mudah dikumpulkan dan disimpan. Ada lima tes serologi digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus PRRS: indirect  fluorescent antibody (IFA), enzyme linked uji immunosorbant (ELISA), blocking  ELISA, serum netralisasi virus (VN) dan immunoperoxidase monolayer assay (IPMA). ELISA komersil yang tersedia dianggap sangat sensitif dan spesifik (Albina, 1997).

Kontrol

Setelah diagnosis infeksi PRRS ditentukan dapat dilakukan strategi yang tepat untuk mengendalikan penyebaran virus dan mengurangi efek klinis dari penyakit ini. Tujuan jangka panjang dari pengendalian PRRS di sebuah peternakan adalah untuk menghentikan penyebaran dari operator terhadap hewan rentan. Penyebaran penyakit di kawanan pembibitan mungkin lambat, tapi babi tetap dapat menularkan untuk jangka waktu yang lama. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada sekelompok babi naif dalam kawanan pembibitan positif. Infeksi terus menerus dari hewan baru akan memperpanjang infeksi. Berbagai strategi untuk mengontrol PRRS telah dikembangkan, termasuk depopulasi lengkap dan  re-populasi atau  penutupan kawanan dan rollover (Kittawornrat et al., 2013), isolasi pengembangan emas/ aklimatisasi (Corzo et al., 2010), depopulasi parsial, all-in / all-out (AIAO) aliran babi , dan vaksinasi  (Dee et al., 2002). PRRS merupakan wabah yang sangat merusak di  peternakan babi (Zhang and Kono, 2012). Untuk mengendalikan PRRS di Vietnam, tiga jenis strategi kontrol yang available1): i) stamping out (SO), atau pemusnahan semua babi yang terinfeksi; ii) vaksinasi strategis (SV), yang berarti pemusnahan semua babi yang terinfeksi dan vaksinasi babi rentan dengan vaksinasi yang optimal); iii) vaksinasi pencegahan, yang mengacu pada vaksinasi semua babi sebelum wabah terjadi.

Eliminasi

Hambatan dalam pemberantasan PRRS adalah kemampuan virus untuk menyebabkan infeksi persisten pada babi (Zimmerman et al., 1997). Strategi pemberantasan yang telah dijelaskan meliputi; depopulasi dan re-populasi seluruh kawanan, pengujian dan pemusnahan, penutupan kawanan dan depopulasi parsial

Dampak Kerugian Ekonomi PRRS

Penyakit PRRS mempunyai dampak ekonomi yang luas pada peternakan babi di Eropa, Amerika Utara, dan Cina. Kerugian akibat penyakit ini terutama akibat kematian, abortus, dan mumifikasi fetus, serta biaya pengobatan yang tinggi karena morbiditas dapat mencapai 100% serta biaya untuk sanitasi. Kerugian lain adalah anak babi yang lahir dari induk yang terinfeksi biasanya lemah dan kerdil sehingga feed conversion rate (FCR) menjadi tinggi (Neumann et al., 2005). Kerugian akibat wabah virus PRRS dapat mencapai $ 236/babi betina dewasa atau sekitar 600 juta dolar per tahun untuk produksi babi di seluruh dunia (Molenpkam et al., 2013).

Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) sepantasnya mendapat perhatian di Indonesia. Genotipe virus PRRS yang ada di Indonesia belum diketahui. Kemungkinan adanya HP-PRRS perlu diungkapkan karena dampak ekonominya yang besar bagi industri babi. Informasi tentang hal tersebut sangat bermanfaat dalam kaitan surveilans, pencegahan dan penanggulangan penyakit babi.

Parameter ekonomi yang  dapat terukur : peningkatan mortalitas, dan meningkatkan penyakit pernapasan. Penelitian telah dilakukan untuk membangun kerugian ekonomi di wabah PRRS akut dan dalam kawanan terinfeksi endemik. Polson (1992) menerbitkan sebuah studi mengenai dampak ekonomi dari PRRS dengan penurunan  laba karena wabah PRRS adalah US $ 236/ babi betina, yang mewakili 80% pengurangan keuntungan yang diharapkan pada tahun wabah. Penelitian yang sama memperkirakan biaya infeksi PRRS pada populasi petani finisher untuk rata-rata $ 6,25-15,25 per babi (gabungan pembibitan dan finishing).

Kerugian ekonomi yang terkait dengan ternak pembibitan yang terinfeksi diperkirakan PRRS mengakibatkan kematian meningkat (dari 1,9% menjadi 10,2%), gain harian rata-rata berkurang (0,38-0,26 kg / d), peningkatan biaya pengobatan per babi (dari $ 0,73 ke $ 18,21) dan efisiensi pakan dikurangi (pakan untuk mendapatkan rasio 1,77-1,91) (Polson et al., 1992).

Penyakit PRRS telah dilaporkan menyebar di seluruh dunia dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar pada peternakan babi akibat kegagalan pernafasan pada neonatus dan aborsi pada induk (Blaha 2000). Peneliti lain melaporkan pada babi penderita PRRS terjadi postweaning syndrome wasting multisystemic, kelemahan, dispnea, limfadenopati, diare, dan ikterus (Allan dan Ellis, 2000). Penyebaran penyakit dilaporkan melalui semen, alat angkut, muntahan, insekta, burung, aerosol, dan air liur (Dee et al., 1995; dan 2007). Virus PRRS dapat diisolasi dari serum 12 jam setelah infeksi (Rossow et al., 1995), sedangkan pada babi pejantan dilaporkan bervariasi dari satu sampai 14 hari (Christopher-Henning et al., 1995; Prieto et al.,2004). Virus masih terdeteksi sampai lima bulan pada eksudat kripta tonsil (Fangman et al., 2007)

1.      Kerugian  Ekonomi Langsung

a.       Kerugian pada sistem produksi peternakan

Kerugian ekonomi akibat PRRS pada sistem produksi peternakan diantaranya meningkatnya angka mortalitas (dari 1,9 % menjadi 10,2%), penurunan average daily gain (0,38-0,26 kg/hari), penurunan efisiensi pakan (untuk mendapatkan rasio 1,77-1,91),  kegagalan reproduksi dengan wabah aborsi pada kebuntingan akhir, peningkatan jumlah bayi lahir mati dan mummifikasi fetus, neonatus lemah, tingginya angka kematian  pra-sapih, dan tingkat pengembalian estrus yang lama (Polson et al., 1992)

b.      Kerugian pada pengeluaran ekstra

Kerugian ekonomi akibat PRRS pada pengeluran ekstra diantaranya peningkatan biaya pengobatan per babi (dari $ 0,73 ke $ 18,21) (Polson et al., 1992), depopulasi seluruhnya dan  re-populasi atau  penutupan kawanan dan rollover, depopulasi parsial , all-in / all-out (AIAO) aliran babi , vaksinasi, pengendalian vektor dan desinfeksi-biosekuriti.

2.      Kerugian ekonomi tidak langsung

Kerugian ekonomi tidak langsung berpengaruh terhadap ekonomi dalam negeri berupa hilangnya peluang untuk ekspor

Upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari kerugian ekonomi tinggi pada peternakan babi adalah para peternak dianjurkan menerapkan manajemen peternakan yang lebih baik dan melakukan vaksinasi terhadap PRRS. Penutupan kandang selama 6-9 bulan mampu menghilangkan komtaminasi virus PRRS yang telah terjadi pada kandang (Schaefer and Morrison, 2007). Penerapan sanitasi, penyemprotan alat angkut dengan air panas mampu menekan kontaminasi virus PRRS (Dee et al., 2007). Babi-babi peternakan rakyat juga direkomendasikan untuk divaksinasi untuk memutus siklus penyebaran virus, disamping peran sosiokultural babi dalam komunitas tertentu, terutama sebagai komponen utama dari jaring pengaman sosial. Pada calon pejantan harus dilakukan penyaringan awal utuk memastikan bebas infeksi virus PRRS (Reicks et al., 2006).


Hipotesis

Porcine reproductive and respiratory syndropme (PRRS) menimbulkan kerugian ekonomi  yang sangat besar terhadap peternakan babi di Sumatera Utara.

 

BAB III

MATERI DAN METODE

Perkiraan dampak ekonomi akibat kejadian PRRS ini dilakukan dengan pengumpulan data dan literatur terkait, baik dari data statistik milik pemerintah maupun hasil penelitian dan kajian dari dalam dan luar negeri. Pengendalian penyakit yang tidak dilakukan analisa ekonomi terhadap biaya dan manfaat pengendalian akan menyebabkan penggunaan anggaran pembangunan yang sangat terbatas menjadi tidak efisien (Kusbianto, 2010).

Dalam melakukan perhitungan kerugian ekonomi akibat suatu penyakit dapat menggunakan dua pendekatan metode perhitungan dengan melakukan perhitungan semua  kerugian ekonomi langsung dan kerugian ekonomi tidak langsung yang diakibatkan oleh penyakit PRRS.  Metode ini untuk mengetahui kerugian ekonomi akibat suatu penyakit. Perhitungannya dengan menetapkan beberapa parameter ekonomi penting sebagai dasar perhitungan.

·         Kerugian Langsung

Parameter untuk perhitungan kerugian langsung dapat berupa mortalitas, morbiditas, prevalensi dan parameter epidemiologi lainnya, bisa juga berdasarkan beberapa journal ataupun penelitian-penelitian teknis dari penyakit tersebut.

·         Kerugian tidak Langsung

Untuk melakukan perhitungan kerugian ini dengan memperhatikan pengaruh penyakit tersebut terhadap ekonomi dalam suatu negara.

 

 

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit PRRS

            Dari studi literatur diperoleh data-data sebagai bahan untuk melakukan analisa terhadap perkiraan terhadap dampak kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit PRRS di Indonesia khususnya Sumatera Utara.

Tabel 1. Populasi babi dari tahun 2011-2015 pada masing-masing provinsi (Ditjen PKH, 2015)

 

Tabel 2. Pengeluaran babi dari tahun 2011-2015 pada masing-masing provinsi (Ditjen PKH, 2015)

 


Tabel 3.  Situasi peternakan babi di Sumatera Utara

No

Parameter

Satuan

Tahun

Simbol

Jumlah

Sumber

1.

Populasi

Ekor

2015

Ba

1.159.027

Statistik Peternakan dan Keswan, Ditjen PKH 2015

 

Anak/ weaning

Ekor

2015

BaW

344.926

 

Muda/ yearling

Ekor

2015

BaY

418.061

 

Dewasa/ mature

Ekor

2015

BaM

396.039

2.

Produksi daging

Kg

2015

Eks

41.378.000

 

Tabel 4. Parameter epidemiologi

No

Parameter Epidemiologi

Simbol

Jumlah

Sumber

1

Proporsi hewan terkena PRRS  di daerah  tertular (%)

R

8,9

Suartha dkk., 2013

 

Anak/ weaning

R1

20-100

An et al., 2010

 

Muda/ yearling

R2

40

Evan et al., 2008

 

Dewasa/ mature

R3

35,1

Velasova et al., 2012

2

Penurunan  average daily gain (ADG)  (hari)

L

0,38

Polson et al., 1992

3

Penurunan  produksi daging (%)

N

50

Dee & Joo, 1994

4

Angka keguguran (%)

K

8

Polson et al., 1992

5

Angka still birth (%)

S

10

Dee & Joo, 1994

 

 

 

20

EEC, 1991

 

 

 

100

Zhou & Yang , 2010

6

Angka mortalitas (%)

 

 

 

 

Anak/ weaning

F1

60

Tian et al., 2007

 

Muda/ yearling

F2

20

Zhou & Yang 2010

 

Dewasa/ mature

F3

10,2

Polson et al., 1992

7

Babi tidak laku (%)

H

30

Dee & Joo, 1994

 

 Tabel 5. Parameter ekonomi

No

Parameter Ekonomi

Simbol

Jumlah

1

Harga babi dewasa per ekor (Rp)

M

3.200.000

2

Harga babi muda per ekor (Rp)

Y

1.200.000

3

Harga genjik per ekor (Rp)

A

600.000

4

Harga daging per kg (Rp)

D

32.000

5

Biaya pengendalian vektor (Rp)

P

20.000

6

Biaya vaksinasi per ekor (Rp/ 3 dosis)

V

58.500

7

Biaya biosekuriti perekor (Rp)

B

25.000

8

Biaya jasa dokter hewan dan pengobatan perekor (Rp)

J

200.000

9

Biaya surveilan  per ekor (Rp)

E

50.000


 

Tabel 6. Perhitungan Kerugian Ekonomi Langsung

No

Jenis Kerugian

Rumus

Faktor

Populasi (ekor)

Biaya (Rp)

1

2

3

4

Perhitungan Kerugian Langsung pada Sistem Produksi Peternakan

a

Kematian Babi (genjik)

F1xAxBaW

F1

A

 

 

BaW

 

 

 

 

0,6

600000

 

 

344.926

123.173.360.000

b

Kematian Babi Muda

F2xYxBaY

F2

Y

 

 

BaY

 

 


 

0,2

1000000

 

 

418.061

83.612.200.000

c

Kematian Babi Dewasa

F3xMxBaM

F3

M

 

 

BaM

 

 

 

0,102

3200000

 

 

396.039

129.267.129.600

d

Penurunan produksi daging

NxDxEks

N

D

 

 

Eks

 

 


 

0,5

32000

 

 

41.378.000

662.048.000.000

e

Keguguran

KxAxBaW

K

A

 

 

BaW

 

 


 

0,08

600000

 

 

344.926

16.556.448.000

f

Stiil birth

SxAxBaW

S

A

 

 

BaY

 

 

 

 

0,1

600000

 

 

418.061

25.083.660.000

g

Babi tidak laku

HxMxBaM

H

M

 

 

BaM

 

 

 

 

0,3

3200000

 

 

396.039

380.197.440.000

Total Kerugian Langsung pada Sistem Produksi Peternakan

1.419.938.237.600

 

 

 

Perhitungan Kerugian Langsung Akibat Pengeluaran Ekstra

 

Tabel 7. Perhitungan Kerugian Langsung akibat Pengeluaran Ekstra

Perhitungan Kerugian Langsung Akibat Pengeluaran Ekstra

 

 

 

 

 

No

Jenis Kerugian

Rumus

Faktor

Populasi (ekor)

Biaya (Rp)

1

2

3

4

a

Vaksinasi

VxVakxBa

V

Vak

F

 

Ba

 

 

 

 

58500

0,7

 

 

1159027

47.462.155.650

b

Jasa Pengobatan

RxJxBa

R

J

 

 

Ba

 

 

 

 

0,089

200000

 

 

1159027

20.630.680.600

c

Surveillance

ExRxBa

E

R

 

 

Ba

 

 

 

 

50000

0,089

 

 

1159027

5.157.670.157

d

Biosekuriti dan pengendalian vektor

(B+P)xBa

B

P

 

 

Ba

 

 

 

25000

20000

 

 

1159027

53.156.215.000

Total Kerugian Langsung akibat pengeluaran ekstra

125.406.721.407

TOTAL KERUGIAN LANGSUNG

1.545.344.959.007

 

 

 

 

 


Total kerugian langsung akibat PRRS (per tahun) diperoleh dari kerugian langsung pada sistem produksi peternakan ditambah dengan kerugian langsung akibat dari pengeluaran ekstra. Dari  perhitungan diperoleh hasil Rp. 1.419.938.237.600 + Rp. 125.406.721.407 sehingga total dari kerugian langsung adalah Rp. 1.545.344.959.007,-

Dalam hal ini, nilai pengeluaran ekstra merupakan perkiraan yang dikeluarkan untuk pengendalian dan pencegahan kejadian PRRS. Dari hasil perhitungan kerugaian langsung dapat dilihat bahwa kerugian lagsung akibat pengeluaran ekstra jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerugian langsung pada sistem peternakan. Hal ini megindikasikan kemungkinan bahwa sistem pencegahan dan pengendalian PRRS belum berjalan dengan baik. Nilai dari kerugian ini dapat bertambah besar jika ditambah dengan nilai kerugian secara tidak langsung seperti larangan ekspor.

 


DAFTAR PUSTAKA

Albina E. Epidemiology of porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS): An overview. 1997. Vet Microb 55: 309-316.

 

Bautista EM, Goyal SM, Yoon IJ, Joo HS, Collins JM. Comparison of porcine alveolar macrophages and CL 2621 for the detection of porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) virus and anti-PRRS antibody. 1993. J Vet Diagn Invest 5:163-165.

 

Benfield DA, Nelson C, Steffen M, Rowland RRR. Transmission of PRRSV by artificial insemination using extended semen seeded with different concentration of PRRSV. 2000. Proc Amer Assoc Swine Pract, pp. 405- 408.

 

Blaha T. 2000. The “colorful” epidemiology of PRRS. Vet Res. 31:77–83.

 

Bierk MD, Dee S, Rossow K, Otake S, Collins JE, Molitor TW. Transmission of porcine reproductive and respiratory syndrome virus from persistently infected sows to contact controls.. 2001. Can J Vet Res 65: 261-266.

 

Broes A, Caya I, Belanger M. 2007. New blood collection technique for porcine reproductive and respiratory syndrome virusmonitoring in boars. J Swine Health and Prod

 

Corzo CA, Mondaca E, Wayne S, Torremorrell M, Dee S, Davies P, Morrison RB. Control and elimination of porcine reproductive and respiratory syndrome virus. 2010. Virus Res 154:185-192.

 

Cristopher-Hennings J,, Holler LD, Benfield DA, Nelson EA. . Detection and duration of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in semen, serum, peripheral blood mononuclear cells, and tissues from Yorkshire, Hamshire and Landrace boars. 2001. J Vet Diagn Invest 13:133-142.

 

Dee S, Torremorell M, Thompson B, Deen J, Pijoan C. An evaluation of thermo-assisted drying and decontamination for the elimination of porcine reproductive and respiratory syndrome virus from contaminated livestock transport vehicles. 2005. Can J Vet Res 69:58-63.

 

Dee SA, Torrelmorel M, Thompson R, Cano JP, Dee J, Pijoan C. 2007. Evaluation of the thermo-assisted drying and decotamination system for sanitation of a full size transport vehicle contaminated with porcine reproductive and respiratory syndrome virus. J Swine Health and Prod 15(1):12- 18.

 

Dee SA. An overview of production systems design to prepare naïve replacement gilts for impending PRRS virus challenge: A global perspective. 1997. J Swine Health Prod 5(6): 231-239.

 

Dirjen PKH, 2015. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan.

 

FAO (2011). Focus on: Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) virulence jumps and persistent circulation in Southeast Asia. EMPRES, Issue No. 5 – 2011

 

Fangman TJ, Kleiboeker SB, Coleman M. 2007. Tonsilar cryt exudate to evaluate shedding and transmission of porcie reproductive and respiratory syndrome virus after inoculation with live field virus or vaccination with modifield live virus vaccine. J Swine Health and Prod. 15:219-223.

 

Keffaber. K.K. (1989). Reproductive failure of unknown etiology. Am. Assoc. Swine Pract. Newsl l. 1-10

 

Ketut Santia, A.P., C. Morrys., N. Dibia dan Soeharsono. (1999). Survei serologis antibody virus Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome di daerah Nusa Tenggara Timur. BPPH VI Denpasar 1-6

 

Kittawornrat A, Panyasing Y, Goodell C, Wang C, Gauger P, Harmon K, Rauh R, Desfresne L, Levis I, Zimmerman J. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus (PRRSV) surveillance using pre-weaning oral fluid samples detects circulation of wild-type PRRSV. 2013. Vet Microbiol168: 331-339.

 

Kusbianto Erwin. 2010. Analisis Biaya Manfaat Dan Strategi Pengendalian Antraks Di Pulau Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat

 

Magar R, Larochelle R, Robinson Y, Dubuc C. Immunohystochemical detection of porcine reproductive and respiratory syndrome virus using colloidal gold. 1993. Can J Vet Res 61:69-71.

 

Neumann et al., 2005) Neumann EJ, Kliebensteins JB, Johnson CD, Mabry JW, Bush EJ, Seitzienger AH, Green AL, Zimmermann JJ. 2005. Assesment of economic impact of porcine reproductive and respiratory syndrome on swine production in United State. JAVMA. 227: 385-392

 

Otake S, Dee SA, Moon RD, Rossow KD, Trincado C, Pijoan C. Evaluation of mosquitoes, Aedes vexans, as biological vectors of porcine reproductive and respiratory syndrome virus. Can J Vet Res. 2003 Oct;67(4):265-70

 

Otake S, Dee SA, Jacobson L, Pijoan C, Torremorell M. Evaluation of aerosol transmission of porcine reproductive and respiratory syndrome virus under controlled field condition. 2002. Vet Rec 150: 804- 808.

 

Otake S, Dee S, Corzo C, Oliveira S, Deen J. Long-distance airborne transportation of infectious PRRSV and Mycoplasma hyopneumoniae from a swine population infected with multiple viral variants. 2010. Vet Microb 145:198-208.

 

Pitkin A, Deen J, Otake S, Moon R, Dee S. Further assessment of houseflies (Musca domestica) as vectors for the mechanical transport and transmission of porcine reproductive and respiratory syndrome virus under field conditions. 2009. Can J Vet Res. 73(2):91-6.

 

Polson DD, Marsh WE, Dial GD, Christianson WT. Financial impact of porcine epidemic abortion and respiratory syndrome (PEARS). 1992. Proceedings of the International Pig Veterinary Society Congress.132.

 

Prickett J, Simer R, Christopher-Hennings J, Kyoung-Jin Y, Evans RB, Zimmermann JJ. 2008. Detection of porcine reproductive and respiratory syndrome virus infection in porcine oral fluid sample : a longitudinal study under experimental conditions. JVDI. 20:156-163.

 

Prieto et al.,2004 Prieto C, Garcia C, Simatto I, Castro JM. 2004. Temporal shedding and persistence of porcie reproductive and respiratory syndrome in boars. Vet Rec.154:824-827.

 

Schaefer N and Morrison R. 2007. Effect on total pigs weaned of herd closure for elimination porcine reproductive and respiratory syndrome virus. J Swine Health and Prod.15:152-155.

 

Suartha. IN, Anthara. AMS, Wirata. IW, Sari TK, Dewi. NMRK, Narendra. IGN, Mahardika. IGN. Survei Penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Peternakan Babi di Bali. Jurnal Veteriner Maret 2013. Vo 14 No.1:24-30

 

Sumaryani dkk, 1998. Sumaryani, D, H., S. Irianti.. R. Sinurat, (1998). Seroprevalensi porcine reproductive and respiratory syndrome di daerah Sumatera Utara, BPPH I Medan.

 

Tian, K., Yu, X., Zhao, T., Feng, Y., Cao, Z., Wang, C., Hu, Y., Chen, X., Hu, D., Tian, X.,Liu, D., Zhang, S., Deng, X., Ding, Y., Yang, L., Zhang, Y., Xiao, H., Qiao, M., Wang, B.,Hou, L., Wang, X., Yang, X., Kang, L., Sun, M., Jin, P., Wang, S., Kitamura, Y., Yan, J. andGao, G.F. (2007). Emergence of fatal PRRSV variants: unparalleled outbreaks of atypical PRRS in China and molecular dissection of the unique hallmark. PLoS One. 13:2(6): e526.

 

Tun H.M., Shi M., Wong C.L.Y., Ayudhya S.N.N., Amonsin A., Thanawongnuwech R., and Leung F.C.C. (2011). Genetic diversity and multiple introductions and respiratory syndrome viruses in Thailand. Virology Journal 2011, 8:164. doi:10.1186/1743-422X-8-164.

 

Wills R W, Zimmerman JJ, Swenson SL,Yoon K-J, Hill HT, Bundy DS, McGinley MJ. Transmission of porcine reproductive and respiratory sydrome virus by direct close or indirect contact. 1997. J Swine Health Prod. 5:213- 218.

 

Yaeger MJ, Prieve T, Collins J, Christopher- Hennings J, Nelson E, Benfield D, 1993. Evidence for transmission of porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) virus in boar semen. J. Swine Health Prod. 1(5):7-9.

 

Zang. H and Kono. H. Economic Impact of Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) Outbreak in Vietnam Pig Production. 2012. Ttropical Agricultural Research Vol. 23 (2) : 152-159

 

Zimmerman et al., 1997 Zimmerman JJ, Yoon KJ, Wills RW, Swenson SL. 1997. General overview of PRRSV: A perspective from the United States. Vet Microbiol. 55:187–196

 

 

Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Sydrome (PRRS) di Sumatera Utara

  Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit   Porcine Reproductive and Respiratory Sydrome (PRRS) di Sumatera Utara   Oleh : Iyan Kurniaw...