Selasa, 27 September 2016

SELAMAT HARI RABIES SEDUNIA (WORLD RABIES DAY) 28 September 2016

Selamat Hari Rabies Seduania
28 September 2016
(World Rabies Day)

Sebuah organisasi bernama Alliance for Rabies Control (ARC) menetapkan tanggal 28 September sebagai Hari Rabies Sedunia/ World Rabies Day. Peringatan Hari Rabies Sedunia ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, pengendalian dan pencegahan terhadap penyakit rabies.

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian hingga 100% bagi manusia maupun hewan yang telah terinfeksi. Penyekit Rabies telah menyebabkan kekhawatiran masyarakat di dunia karena telah ditemukan hampir di seluruh dunia. Bahkan saja di negara-negara berkembang, di negara-negara yang sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju, sesuai dengan catatan WHO jumlah orang meninggal akibat rabies melebihi 55.000 orang setiap tahunya, Oleh karena itu maka pengendalian penyakit rabies didunia harus mendapatkan perhatian selutuh negara dan organisasi di dunia. 
Anjing, kucing, kera, kelelawar merupakan hewan penular rabies. 

Mari kita berantas Rabies dengan  EDUCATE --- VACCINATE --- ELIMINATE

Minggu, 25 September 2016

DETEKSI BRUCELLOSIS PADA SAPI DENGAN METODE ROSE BENGAL TEST (RBT) DI PROVINSI BENGKULU



DETEKSI BRUCELLOSIS PADA SAPI DENGAN METODE ROSE BENGAL TEST (RBT) DI PROVINSI BENGKULU


Iyan Kurniawan
Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Bengkulu
Jl Depati Payung Negara Km 14 No 4 Pekan Sabtu, Selebar
Phone : (0736) 53066, 52045, 51607, 085369955403 email : iyandvm29@gmail.com

ABSTRAK
Brucellosis merupakan penyakit reprodksi yang disebabkan Brucella abortus dan menyebabkan keguguran serta memiliki sifat zoonosis. Provinsi Bengkulu telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pertanian sebagai daerah bebas brucellosis. Dalam rangka menjaga Bengkulu tetap bebas brucellosis dan mendukung upaya khusus pemerintah dalam pencapaian swasembada sapi dilakasanakan pemantauan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) dengan pengambilan sampel untuk deteksi brucellosis. Besaran sampel dihitung dengan tabel detect disease dengan prevalensi 5% di 6 kabupaten yang ditentukan secara by judgment melalui kesepakatan dengan dinas yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan serta Balai Veteriner Lampung, sehingga jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 354 serum. Pengujian dilakukan di Laboratorium Karantina Bengkulu dan Laboratorium Balai Veteriner Lampung dengan metode Rose Bengal Test. Hasil pengujian diperoleh seluruh sampel negatif. hasil ini bermanfaat bagi Provinsi Bengkulu serta Karantina Untuk tetap menjaga Bengkulu bebas Brucellosis.

Kata Kunci : Brucellosis, Pemantauan, Hama Penyakit Hewan Karantina, Rose Bengal Test


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk yang sangat tinggi di Asia Tenggara. Tingginya populasi penduduk harus diiringi dengan peningkatan ketahanan pangan antara lain beras, gandum, sayur, susu serta daging. Sapi merupakan hewan penghasil daging dan susu yang cukup digemari oleh penduduk Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2013), jumlah populasi sapi dan kerbau di Indonesia mengalami penyusutan dalam dua tahun terakhir. Penyusutan ini antara lain akibat dari kebijakan Kementerian Pertanian yang memperketat impor sapi bakalan maupun sapi potong.
Berdasarkan Keputusan Mentri Pertanian Nomor 5681/Kpts/PD.620/12/2011 tentang Pernyataan Provinsi Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung dan Kepulauan Bangka Belitung Bebas dari Penyakit Hewan Keluron Menular (Brucellosis) Pada Sapi, maka dianggap perlu dilakukan upaya untuk menjaga Provinsi Bengkulu Bebas dari penyakit brucellosis. Hal ini sesuai dengan peran Karantina Pertanian Bengkulu dalam menjaga Provinsi Bengkulu dari penyakit brucellosis, yang juga tercantum dalam Peraturan Mentri Pertanian No 3238 tentang penggolongan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK), masuk ke Provinsi Bengkulu.
Berkenaan dengan tujuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan akan protein hewani, sapi yang merupakan salah satu sumber protein hewani tentu perlu Ditingkatkan populasinya. Peningkatan populasi sapi dapat meningkatkan hasil ternak berupa daging, kulit ataupun air susu. Brucellosis merupakan salah satu penyakit ternak yang dapat menghambat peningkatan populasi karena disamping dapat menyebabkan keguguran juga dapat menurunkan produksi dan produktivitas ternak serta bersifat zoonosis.
Brucellosis telah menyebar ke berbagai wilayah sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi pengembangan peternakan akibat kematian dan kelemahan pedet, abortus, infertilitas, sterilitas, penurunan produksi susu dan tenaga kerja ternak serta biaya pengobatan dan pemberantasan yang memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Di Indonesia, brucellosis tersebar luas di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pulau Bali sampai saat ini masih tergolong bebas brucellosis karena adanya pengawasan yang ketat berupa larangan pemasukan sapi jenis lain, berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk mempertahankan kemurnian sapi bali.
Brucella sp. di Indonesia banyak menginfeksi sapi sehingga ditetapkan sebagai penyakit hewan  menular strategis sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts/OT/140/3/2013 (Kepmentan 2013). Penyakit ini kurang disadari oleh peternak karena tidak menunjukkan tanda yang nyata sakit apabila dibandingkan dengan penyakit lain. Karekteristik ini menjadikan brucellosis dapat menyebar dengan mudah. Bila tidak dilakukan pengendalian dengan baik maka negara akan dirugikan 385 milyar/tahun (Bahri dan Martindah, 2010).
Brucellosis pada sapi harus dikendalikan agar populasi tidak menurun dan pengendaliannya diarahkan pada pencegahan berpindahnya dan  menyebarnya agen penyakit serta mencegah adanya penderita baru. Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat menyebabkan muncul berbagai cara mendiagnosa brucellosis pada hewan maupun manusia. Diagnosa brucellosis dapat dilakukan dengan isolasi bakteri, uji serologis maupun biologis.

Tujuan
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mendeteksi secara dini keberadaan Brucella sp di Provinsi Bengkulu.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah, Peneliti, dan Masyarakat dalam mendeteksi keberadaan Brucella sp.


TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi Penyakit Brucelosis
Brucellosis mempunyai banyak istilah diantaranya keluron, Mediteranean fever (karena banyak ditemukan di daerah Mediteranian), undulant fever (karena suhu tubuh yang naik-turun selama berminggu-minggu pada pasien yang tidak mendapat penanganan), Crimean fever (muncul pertama kali saat perang Crimea tahun 1805-an di Malta), Maltese fever (ditemukan sumber infeksinya oleh dokter berkebangsaan Malta, Temi Zammit), Bang's Disease (diisolasi pertama kali oleh drh. Benhard Bang), Brucellosis (diketahui pertama kali sebagai agen penyakit oleh Dr. David Bruce) (Adman 2008).
Penyakit bruselosis atau penyakit abortus pada sapi disebabkan oleh Brucella abortus (Alton 1984). Di dalam tubuh  inang bersifat patogen fakultatif intraseluler anaerobik. Jenis bakteri spesies Brucella yang juga dapat menyerang sapi antara lain Brucella suis dan Brucella meletensis, namun organisme tersebut biasanya tidak menunjukan gejala klinis yang jelas serta biasanya hanya terbatas di dalam sistem retikuloendotelial (Sriranganathan 2009). Taksomi dari B. abortus ini adalah:
Kingdom         : Bacteria
Filum               : Proteobacteria
Class                : Alphaproteobacteria
Ordo                : Rhizobiales
Famili              : Brucellaceae
Genus              : Brucella
Brucellosis merupakan salah satu penyakit zoonosa yang tersebar di seluruh bagian dunia dan masih bersifat endemik bagi sebagian besar negara berkembang, termasuk di Indonesia (Doganay & Aygen 2003). Brucellosis terutama terdapat di negara-negara Mediterania di Eropa, utara dan timur Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tengah serta Amerika Tengah dan Selatan, namun sering tidak diketahui dan sering terjadi tanpa adanya laporan. Hanya terdapat beberapa negara di dunia yang secara resmi bebas dari penyakit, meskipun kasus masih terjadi pada orang-orang yang kembali dari negara endemik (WHO 2006).

 Karakteristik Brucella sp.
Bakteri dari genus Brucella, berbentuk kokobasili dengan panjang 0,6 - 1,5 μm dan lebar 0,5- 0,7 μm, ditemukan secara tunggal dan terkadang berpasangan dengan morfologi yang konstan, bersifat Gram negatif, non - motil, tidak berkapsul, tidak membentuk spora dan anaerobik fakultatif. Dalam  media biakan, koloni berbentuk seperti setetes madu bulat, halus, permukaan cembung dan  licin, mengkilap serta tembus cahaya dengan diameter 1 – 2 mm.
Secara biokimia dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan tidak membentuk sitrat tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan kuman memerlukan temperatur 20 – 400 0C dengan penambahan karbondioksida (CO2) 5- 10 % (Sulaiman dan Pormadjaya2004).
Brucella sp terdiri atas 6 genus yaitu B.abortus, B.suis, B.canis, B.ovis, B.melitensis dan B. neotomae . Tidak semua genus menimbulkan penyakit, hanya 5 jenis dari genus ini yang potensial menimbulkan penyakit pada hewan dan manusia yaitu B.abortus pada sapi, B.suis pada babi, B.canis pada anjing, B.ovis pada domba jantan dan B. melitensis pada kambing dan domba (Acha dan Boris 2003).
Bakteri ini adalah parasit intraseluler atau parasit obligat karena berduplikasi di dalam sel dan berkemampuan untuk menginvasi semua jaringan hewan sehingga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi (Todar 2008). Brucella apabila masuk kedalam sel epitel akan dimakan oleh neutrofil dan sel makrofag masuk ke limfoglandula. Bakteriemia muncul 1–3 minggu setelah infeksi apabila sistem tubuh tidak mampu mengatasi. Biasanya Brucella terlokalisir pada sistem reticuloendothelial seperti hati, limpa dan sumsum tulang belakang dan membentuk granuloma (Noor 2006). Bakteri ini memiliki 5-guanosin monofosfat yang berfungsi menghambat efek bakterisidal dalam  neutrofil, sehingga Brucella ini mampu hidupdan berkembang biak di neutrofil (Canning et al. 1986).
Komponen dinding sel Brucella baik pada strain halus (smooth) seperti B. melitensis, B. abortus dan B. suis maupun strain kasar (rough) seperti B. canis terdiri dari peptidoglikan, protein dan membran luar yang terdiri dari lipoprote in dan lipopolisakarida (LPS). LPS inilah yang bertanggung jawab terhadap efek bakterisidal dalam sel makrofag dan menjadi penentu virulensi bakteri. Brucella strain kasar mempunyai virulensi yang lebih rendah pada manusia (Noor 2006).
Bakteri ini dapat bertahan hidup diluar tubuh induk semang pada berbagai kondisi lingkungan dalam jangka waktu tertentu. Kemampuan daya tahan hidup kuman  Brucella pada tanah kering adalah 4 hari, tanah lembab 66 hari dan tanah becek 151-185 hari (Crawford et al. 1990). Pada kotoran atau limbah kandang bagian bawah dengan suhu yang relatif tinggi bertahan selama 2 hari, pada air minum ternak bertahan selama 5 –114 hari dan pada air limbah selama 30 –150 hari (Noor 2006).Dalam bahan organik (kotoran, tanah) Brucella sp juga tahan terhadap pengeringan (Madiha 2011). Pada susu bakteri Brucella sp dapat bertahan selama beberapa hari di dalam susu dan beberapa minggu atau bulan dalam produk susu (Acha dan Boris 2003).

Penyebaran Penyakit
Menurut Subronto (1995) penularan penyakit bisa terjadi akibat keluarnya bakteri Brucella dalam jumlah yang sangat besar setelah keluron atau melalui cairan lochia setelah beranak. Pada sapi penderita, pengeluaran kuman melalui cairan lochia umumnya tidak lama waktunya. Selain itu, bakteri ini juga dapat dikeluarkan melalui air susu, urine dan tinja. Dalam keadaan terlindungi dari sinar matahari secara langsung, pada suhu kurang dari 25 0C, kuman dapat bertahan hidup sampai tiga bulan di air susu, urine dan tinja.
Menurut Ressang (1984) Brucella abortus mudah terbunuh oleh sinar matahari tetapi dalam lingkungan yang cocok bakteri dapat bertahan hidup sampai enam bulan. Bakteri ini juga dapat tahan hidup pada bahan-bahan olahan dari hasil ternak selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung bagaimana cara pengolahan hasil ternak tersebut. Brucella abortus dapat bertahan hidup selama 142 hari di mentega dan dapat diisolasi dari es krim yang sudah dibekukan selama satu bulan.
Wilcock dan Manson Bahr  (1984) menyatakan  Brucella abortus dapat hidup selama 37 hari di air tawar dan air laut, selama 43 hari di tanah kering dan seama 72 jam di tanah lembab. Di udara yang terkena banyak sinar matahari Brucella militensis tidak mampu bertahan lama. Proses pembuatan es krim dan keju tidak merusak Brucella mellitensis. Brucella suis dapat diisolasi dari karkas setelah 21 masa pendinginan.
Brucella mempunyai daya tahan hidup pada tahan di luar suhu kamar selama empat hari (Crawford dkk, 1990). Pada tanah lembab Brucella mampu bertahan hidup 66 hari dan pada tanah becek 151 – 185 hari. Pada kotoran ternak atau limbah kandang , bakteri ini bertahan selama 8-240 hari, sedangkan pada timbunan kotoran ternak bagian bawah yang suhunya relatif tinggi Brucella bertahan selama dua hari. Brucella dapat bertahan selama 5 – 115 hari pada air minum dan selama 30 – 150 hari pada air limbah. Usaha untuk mencegah dan membatasi penularan atau penyebaran dapat dilakukan dengan memutus siklus hidup bakteri diluar tubuh induk semang melalui  upaya sanitasi dan higiene.

Tabel 1. Daya tahan hidup Brucella di luar induk semang
Tempat
Suhu
Waktu
Sinar matahari langsung
Tanah Kering
Tanah  basah
Air keran
Air susu
Urine
Feses
Cairan alat kelamin
Fetus
Es Krim
Mentega
Keju

Suhu kamar
Suhu kamar
Suhu kamar
Suhu kamar
Suhu kamar
Suhu kamar
Kotak es

0 0C
8 0C
Suhu kamar
4,5 jam
1-2 Bulan
2-3 Bulan
2-3 Bulan
2-4 Hari
2-4 Hari
3-4 Bulan
3-4 Bulan
6-8 Bulan
1 Bulan
1-2 Bulan
2 Bulan
Sumber : Crawford dkk (1990)
Brucella dapat menular karena adanya kontak langsung dengan ternak, terutama dengan bagian puting susu, uterus, plasenta hewan dan cairannya serta fetus yang diabortuskan. Subronto (1995) menyatakan bahwa sapi dalam suatu peternakan menjadi tertular brucellosis karena pemilik memasukan sapi baru dari luar. Sapi baru dapat berjenis kelamin jantan atau betina, pedet atau dewasa, atau sapi bunting penderita infeksi laten. Petunjuk awal adanya infeksi disuatu peternakan ditandai dengan keluron mewabah, yang terjadi pada sapi tua maupun muda dan dalam berbagai tingkat umur kebuntingan. keluron kebanyakan terjadi kira kira pada masa pertengahan kebuntingan.
Menurut Sudarwanto (2000), sebagai akibat brucellosis, anak sapi dapat lahir sempurna tetapi lemah. Adakalanya plasenta tertinggal disertai infeksi dengan akibat sapi menjadi steril atau mandul. Subronto (1995) menyatakan bahwa meski kesembuhan sempurna dimungkinkan, kebanyakan sapi akan tetap mengalami infeksi selama hidupnya. Sapi-sapi tersebut tidak akan mengalami keluron lagi setelah pernah mengalami keluron sekali atau dua kali. Ressang (1984) juga menyatakan, sapi jarang menderita keluron lebih dari satu kali, meskipun pada kebuntingan berikutnya ada infeksi plasenta. Sapi demikian dapat beranak dengan anak yang sehat meskipun ukurannya lebih kecil dari normal. Sewaktu partus, sapi-sapi ini juga menyebarkan Brucella abortus melalui cairan kantung anak (plasenta).
Subronto (1995) menyatakan bahwa penyakit Brucellosis pada sapi tersebar diseluruh bagian dunia. Penyakit tersebut telah dapat diberantas di negara-negara Skandinavia, sedangkan di negara-negara Eropa lainnya, Amerika Utara dan Australia kejadiannya sudah sangat menurun. Di negara-negara Asia kejadian rata-rata penyakit hanya beberapa persen saja, tetapi di kandang-kandang tertentu kejadiannya dapat mencapai 50-60%.

Patogenesis
Sapi dapat tertular brucellosis melalui saluran pencernaan setelah memakan atau meminum bahan (makanan) yang tercemar oleh bahan yang diabortuskan. Sedangkan manusia dapat tertular setelah minum susu sapi atau kambing yang terinfeksi tanpa dipasteurisasi terlebih dahulu. Dengan suatu percobaan dapat dibuktikan bahwa penularan pada sapi dapat juga melalui selaput lendir konjuntiva, goresan pada kulit atau dengan inseminasi yang semennya tercemar oleh kuman brucella (Brubaker, 1985).
Setelah kuman masuk kedalam tubuh, akhirnya menyebar dan menetap pada organ tubuh melalui pembuluh darah dan limfe. Terkumpulnya kuman didalam saluran reproduksi terutama diplacenta dan endometrium sapi yang sedang bunting sangat didukung oleh adanya zat penumbuh yang dikenal dengannama eritritol (sifat spesifitas jaringan).
Pada bentuk infeksi yang akut, kuman brucella selain bermukim didalam placenta,juga di dalam lambung dan paru-paru foetus (janin) dan dikeluarkan bersama-sama foetus dan cairan uterus waktu abortus. Pada bentuk infeksi yang kronis, pada sapi betina dewasa kuman bermukim di dalam kelenjar susu, kelenjar limfe supramammae, retrofaringeal, iliaka interna dan eksterna. Oleh karena itu kuman dapat dikeluarkan bersama air susu. Pada sapi jantan, kuman brucella bermukim di dalam testis, epididimis, vasdiferen dan kelenjar vesikularis, sehingga kuman dapat dikeluarkan bersama semen (mani) sewaktu ejakulasi (Nicoletti,1980;Partodihardjo,1980).

Gejala Klinis
Menurut Wilcock dan Manson-Bahr (1984), gejala umum pada manusia yang menderita brucellosis adalah kelemahan dan kelelahan. Gejala utama dari penyakit ini adalah demam tinggi terutama waktu malam hari. Gejala lain adalah anoreksi, kehilangan berat badan dan pusing, sakit dibelakang leher yang kadang-kadang diikuti dengan spondylitis, sakit perut serta pembesaran hati dan limpa. Gejala sakit di fossa iliaca kanan yang disebabkan oleh keterlibatan glandula mesenterika, mirip dengan gejala radang apendiks, sedangkan sakit sendi sering dikelirukan dengan inflamasi. Gabungan semua gejala ini merupakan gejala mencolok pada brucellosis. Menurut Ressang (1984) brucellosis pada manusia berjalan sangat lambatdan memahun ditandai dengan tanda-tanda klinis demam, berkeringat, obstipasi atau diare, nyeri rematik, bengkak persendian dan orchitis.
Menurut Subronto (1995), gambaran klinis yang terjadi pada manusia sering terjadi pada sapi. Satu-satunya gejala klinis yang nyata pada sapi adalah adanya keluron. Kejadian keluronpun mungkin tikan akan dialami oleh hewan tertular yang telah toleran. Keluron pada masa bunting muda seperti seperti ditemukan pada vibriosis dan trichomoniasis tidak ditemukan pada penderita brucellosis. Pada brucellosis, retensi membran janin dan metritis merupakan hal yang banyak ditemukan setelah keguguran janin.
Menurut Ressang (1984), brucellosis pada sapi jantan dapat berjangkit tanpa menimbulkan gejala klinis dan adanya penyakit ini hanya dapat ditemukan dengan pemeriksaan serologik. Sebaliknya, sapi betina yang menderita brucellosis dapat memperlihatkan gejala umum berupa abortus dengan atau tanpa retensio secundinarium yang diikuti oleh pengeluaran cairan bernanah dari alat kelamin. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kemajiran. Pada sapi perah, brucellosis menyebabkan penurunan produksi susu secara mencolok karena mastitis. Pada sapi jantan, brucellosis menyebabkan epididimitis, orchitis dan juga kemajiran.

Diagnosis dan Pengobatan Penyakit
Berbagai metode uji telah dikembangkan untuk mendiagnosa brucellosis selain mengamati gejala klinis yang timbul. Uji yang umum digunakan untuk deteksi brucellosis antara lain uji Rose Bengal Test (RBT), serum agglutination test (SAT), Enzyme Link Imunosorbent Assay (ELISA), Fluorescence polarisation assay, Complement Fixation Test (CFT), Polimerase Chain Reaction (PCR) dan Brucella Milk Ring Test (BMRT) serta isolasi dan identifikasi bakteri penyebab. Masing –masing uji memiliki keterbatasan etrutama bila dilakukan untuk menapis hewan secara individual (OIE 2008). Metode uji serologis yang dianjurkan OIE untuk perdagangan internasional adalah Buffer Brucellla Antigen Test, CFT, ELISA dan Fluorescence polarisation assay.
Untuk di Indonesia berdasarkan Kepmentan No. 828/Kpts/OT.210/10/98 Pedoman Pemberantasan Penyakit Hewan Keluron Menular (Brucellosis) pada Ternak, untuk kepentingan pengamatan penyakit secara serologis dilakukan melalui pengujian dengan metode RBT, MRT dan CFT serta metode lain yang dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan (Ditjennak 1998). Isolasi B.abortus pada sapi dilakukan dengan mengirimkan cairan, membran fetus, susu, kelenjar limfe supramamaria dalam keadaan segar dan dingin ke
laboratorium (Nielsen 2002).Pada manusia gambaran klinis dan lesi yang ditimbulkan oleh infeksi brucellosis sering sulit dikenali, sehingga peneguhan diagnosis harus didukung dengan uji laboratorium. Isolasi bakteri dari darah merupakan metode standar tetapi hanya efektif pada fase akut dan memerlukan waktu yang lama (Kolman et al. 1991; Noor 2006). Dapat pula dilakukan dengan metode PCR tetapi masih memerlukan standarisasi dan evaluasi lebih lanjut pada brucellosis kronis. Secara serologis dapat juga digunakan ELISA dan telah digunakan secara luas serta metode Western-Blot untuk membedakan infeksi brucellosis yang telah lama atau subklinik (Goldbaum et al. 1993; Noor 2006).
Pengobatan brucellosis pada manusia dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti tetrasiklin, doksisiklin, streptomisin dan rifampisin selama minimal 6 minggu. Pada anak dibawah 8 tahun dan ibu hamil sebaiknya diberikan rifampisin dan trimetoprim - sulfamethoxazole(TMP-SMX) selama 6 minggu (WHO 2006).
Pada hewan khususnya sapi kasus brucellosis umumnya tidak berespon baik terhadap pengobatan. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan didasarkan pada tinggi rendahnya preva
lensi penyakit di suatu daerah (Papas et al. 2005).

Kerugian Ekonomi Akibat Brucellosis Pada Sapi
            Kerugian ekonomi akibat brucellosis sangat besar, terutama didaerah endemis. Kerugian ini ada yang berdampak langsung pada sistem produksi peternakan serta pengeluaran ekstra dan dampak tidak langsung. Dalam penghitungan kerugian ekonomi digunakan Parameter epidemiologi, Parameter ekonomi, hasil study dan penelusuran pustaka, data survey Laboratorium dan kondisi penanganan saat ini.

Dampak Langsung
            Dampak langsung pada sistem produksi peternakan adalah penurunan produksi susu pada sapi perah, penurunan berat badan pada sapi potong, adanya perinatal mortality, abortus, infertilitas dan penurunan harga sapi, selain itu ada pengeluaran ekstra yang disebabkan karena peternak terpaksa tukar tambah ternak akibat abortus atau terjadi infertilitas. Penurunan produksi susu dapat dibedakan menjadi 3 yaitu; akibat langsung kehilangan produksi susu, kehilangan susu akibat meningkatnya interval beranak dan kehilangan susu akibat meningkatnya kejadian abortus. Penurunan berat badan juga dibedakan menjadi 3 penyebab yaitu; penurunan berat badan sebagai akibat langsung, kehilangan berat badan sebagai akibat meningkatnya periode interval beranak dan kehilangan berat badan akibat meningkatnya kejadian abortus ( Singh and Prasad, 2008). Menurut Bernues at al. 1996  angka abortus pada brucellosis berdasarkan berbagai studi adalah antara 10%- 50%, tetapi biasanya diambil nilai yang paling sering muncul yaitu 15%. Infertilitas berakibat keterlambatan kebuntingan berikutnya, di peternakan rakyat Indonesia dapat berkisar antara 3-5 bulan, sehingga dapat diambil rata-rata 4 bulan. Brucellosis menyebabkan perinatal mortality, beberapa literatur menyebutkan kisaran angka 5% – 20% dan dapat diambil nilai yang paling sering muncul adalah 10%. Perlu diperhitungkan juga opportunity cost merupakan biaya kenaikan jumlah pakan karena berat badan yang menurun, hilangnya ternak muda, perawatan dan pengobatan dan lain-lain yang diasumsikan 20% dari biaya pemeliharaan sapi. Pengeluaran ekstra yang harus dikeluarkan adalah biaya program pencegahan, pengendalian dan pemberantasan, diantaranya adalah penggantian biaya untuk tukar tambah ternak, disposal dan desinfeksi, sosialisasi kepada masyarakat, surveilans dan vaksinasi. Selain hal-hal tersebut karena brucellosis merupakan penyakit zoonosis maka akan ada kergian sebagai dampak penurunan produktivitas kerja akibat sakit yang diderita pekerja atau peternak.

Dampak Tidak Langsung
            Kerugian ekonomi sebagai bentuk pengaruh tidak langsung terhadap ekonomi daerah diantaranya adalah; penurunan peluang penjualan sapi keluar daerah  akibat seleksi terhadap daerah asal sapi, penurunan pendapatan daerah (PAD) akibat menurunnya penjualan sapi keluar daerah dan penurunan image daerah tentang kualitas sapi. Penurunan image  daerah tersebut akan membutuhkan waktu yang lama untuk memperbaikinya. Untuk memperbaiki semua dampak tidak langsung tersebut maka perlu program pencegahan, pengendalian dan pemberantasan yang terpadu dan terukur sesuai dengan kaidah-kaidah epidemiologi.
  
METODE PENELITIAN

Sampel  Yang  Diperoleh
Besaran sampel dihitung dengan tabel detect disease dengan prevalensi 5% di 6 kabupaten yang ditentukan secara by judgment melalui kesepakatan dengan dinas yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan serta Balai Veteriner Lampung, sehingga jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 354 serum. Pengujian dilakukan di Laboratorium Karantina Bengkulu dan Laboratorium Balai Veteriner Lampung dengan metode Rose Bengal Test.

Pemeriksaan Rose Bengal Test (RBT)
Ø  Petugas laboratorium memakai APB (masker, glove, jas lab,sandal lab)
Ø  Peralatan dan bahan yang diperlukan sudah disiapkan
Ø  Plate sudah disiapkan, dengan menggunakan mikropipet dan tip mikropipet diambil serum sebanyak 0,03 mikron, ditaruh diatas kotak plate
Ø  Tip mikropipet yang sudah dipakai ditaruh dalam kotak yang telah diisi air sabun/detergen
Ø  Selanjutnya diulang lagi pengisian pada plate sampai semua bagian/kotak terisi serum (35 sampel serum)
Ø  Kemudian dilanjutkan pemberian Antigen RBT disamping masing2 serum yang ada di kotak plate, diteteskan dengan menggunakan pipet tetes antigen, 1 tetes sama dengan 0,03 mikron (35 sampel serum sudah terisi dengan Antigen RBT)
Ø  Dengan menggunakan pengaduk kaca, dicampur antara serum dan antigen RBT, dari kotak pertama sampai dengan kotak ke 35, dimana setiap pindah mengaduk dari satu kotak ke kotak yang berikutnya, pengaduk kaca dibersihkan dengan tissu
Ø  Setelah diaduk/dicampur ke 35 sampel tadi, kemudian dilakukan pengamatan dengan menggoyang-goyangkan plate dengan arah memutar, kekiri dan kekanan
Ø  Apabila uji RBT positip, akan ditandai dengan adanya bentukan seperti PASIR, apabila negatip tidak ada bentukan seperti pasir, tidak ada perubahan.
Ø  Apabila ada yang  positip, serum dari sapi yang positip akan di uji RBT ulang lagi dan apabila hasilnya tetap positip akan dilanjutkan pengujian CFTSetelah semua selesai, plate dibersihkan dan terakhir dibersihkan dengan alkohol
Ø  Antigen dikembalikan ke lemari pendingin (tidak di freezer),selama pengujian antigen tetap ditaruh dikotak yang berisi air dingin/es
Ø  Alat-alat dibersihkan, diletakkan kembali pada posisi masing-masing
Ø  Petugas Laboratorium, melepas APD dan bersih-bersih.
 
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan yang dilakukan di Laboratorium Karantina Bengkulu sebanyak 354 vial serum sapi betina yang diambil pada 6 kabupaten /kota di wilayah Provinsi Bengkulu menunjukan bahwa Seluruh sampel negatif pada pemeriksaan Rose Bengal Test (RBT) (100%), seperti ditunjukan pada tabel 1. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan sampel serum yang dikirim dan di uji di Balai Veteriner Lampung (hasil pengujian terlampir).
Tabel 1. Tabel Pemeriksaan Sampel Serum dari 6 Kabupaten / Kota Provinsi Bengkulu
No
Kabupaten/Kota
Intepretasi
Positif
Negatif
1
2
3
4
5
6
Kabupaten Muko-Muko
Kabupaten Bengkulu Utara
Kabupaten Rejang Lebong
Kota Bengkulu
Kabupaten Seluma
Kabupaten Bengkulu Selatan
-
-
-
-
-
-
59
59
59
59
59
59
Jumlah
0
354

Pemeriksaan bakteriologis terhadap Brucellosis pada dasarnya dapat dilakukan (Siregar,2000). Hanya saja pemeriksaan tersebut sangat sulit dan relatif memakan waktu banyak (Siregar, 2000). Dengan demikian alternatif pemeriksaan secara serologis lebih mudah dilakukan, dengan memperhatikan ketelitian pengamatan dan interpretasi (Siregar, 2000). Uji serologis yang dapat dilakukan adalah menggunakan Rose Bengal Presipitation Test (RBT). Kendala dalam uji serologis ini adalah munculnya reaksi positif palsu, reaksi silang dengan antibodi yang ditimbulkan oleh bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica, E. coli, Vibrio cholerae (Siregar, 2000). Penilaian uji serologis Brucellosis akan sulit dilakukan tanpa ada pengetahuan mengenai respon antibodinya (Anonimus 2, 2000). Antibodi adalah serum protein yang dihasilkan oleh sel limfosit sebagai respons terhadap infeksi atau vaksinasi (Anonimus 2, 2000). Pada hewan ruminansia, serum protein yang disebut immunoglobulin diklasifikasikan menjadi IgG1, IgG2, IgM dam IgA (Anonimus 2, 2000). Fungsi immunoglobulin adalah menginaktifkan dan meneleminasi antigen dengan jalan mengikatnya, sehingga mengakibatkan aglutinasi, antigen lebih peka terhadap fagositosis dan merupakan awal reaksi dari ikatan komplemen, sehingga menyebabkan sel menghancurkan diri (lysis) (Anonimus 2, 2000). Ditjen Bina Produksi Peternakan menetapkan bahwa , semua CFT sebagai uji serologis akhir untuk menetapkan ternak menderita Brucellosis dan hanya hasil negatif yang diperbolehkan dilalulintaskan (Siregar, 2000). Dalam melaksanakan uji tapis secara serologic MRT, RBT dan CFT dapat dilaksanakan (Siregar, 2000).
Uji RBT memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga berguna untuk mendiagnosa penyakit brucellosis pada daerah dengan tingkat prevalensi yang rendah tetapi presentasi vaksinasi cukup tinggi (Anonimus 1, 2004). Uji RBT dapat mendeteksi antibodi yang terbatas pada IgG terhadap B.abortus yang spesifitasnya sangat tergantung pada pH media yang digunakan (Anonimus 1, 2004).
Menurut Siregar (2000), Rose Bengal Test (RBT) dianggap sangat sensitive terutama pada sapi yang telah divaksinasi. Oleh karena itu hasil uji positif harus dilanjutkandengan pemeriksaan uji Complement Fixation Test (CFT), yang dianggap paling sensitive terhadap Brucellosis.
Pada tabel 1 pemeriksaan RBT pada sapi betina di bengkulu dinyatakan negatif, secara teoritis apabila hasil RBT negatif dapat pula disebabkan karena penyakit lain, maka di haruskan pemeriksaan ulang tiga bulan yang akan datang. Seperti dikatakan Siregar (2000), bahwa sapi potong dengan uji RBT negatif maka dilakukan pengujian RBT yang kedua dengan interval 90 hari.
Thomas C Timreck (1998) mendefinisikan Prevalensi adalah jumlah kasus penyakit, orang ternfeksi atau kondisi pada satu waktu tertentu, dihubungkan dengan besar populasi darimana kasus berasal.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi prevalensi suatu populasi  diantaranya :
  1. Penyakit baru muncul dipopulasi sehingga angka insidensi meningkat, jika insidensi meningkat maka angka prevalensi juga meningkat.
  2. Durasi penyakit mempengaruhi prevalensi. Jika penyakit memiliki durasi yang panjang , anka prevalensi juga lebih lama pada posisi yang tinggi.
  3. Intervensi dan perlakukan mempunyai efek pada prevalensi. Jika perlakukan yang diberikan berhasil menurunkan jumlah kasus , durasi kasus, durasi penyakit dan jumlah kasus akan menurun sehingga prevalensi juga menurun.Harapan hidup yang lebih lama berarti dapat meningkatkan durasi dan dapat meningkatkan prevalensi penyakit kronis.
Ukuran prevalensi suatu penyakit dapat digunakan untuk ( Budianto,2002) :
  1. Menggambarkan tingkat keberhasilan program pemberantasan penyakit.
  2. Penyusun perencanaan pelayanan kesehatan, misalnya ketersediaan sarana obat-obatan, tenaga dan ruangan.
  3. Menyatakan banyaknya kasus yang dapat didiagnosis.
Dengan dasar inilah ditentukan bahwa nilai prevalensi pengambilan sampel di Provinsi Bengkulu sebesar 5%.
 
KESIMPULAN DAN SARAN

Provinsi bengkulu sudah di tetatapkan sebagai daerah bebas brucellosis, sehingga peran serta Karantina Pertanian Bengkulu sangat penting dalam menjaga Bengkulu tetap bebas brucellosis. Upaya untuk menjaga Bengkulu bebas brucellosis adalah dengan melakukan deteksi dini pemeriksaan sampel serum darah sapi yang ada di bengkulu melalui program pemantauan. Metode pemeriksaan yang cepat dan mempunyai sensitifitas tinggi menggunakan Rose Bengal Test (RBT).
Pengambilan sampel dengan nilai prevalensi 5 % dirasa kurang menggambarkan tingkat keberhasilan. Diharapkan penentuan nilai Prevalensi bisa dibawah 5 % dikarenakan Provinsi Bengkulu sudah ditetapkan sebagai daerah bebas brucellosis.


DAFTAR PUSTAKA


Acha PN dan Boris S. 2003. Zoonoses and Communicable Disease Com mon to Man and Animals Volume 1: Bacterioses and Mycoses. Ed ke-3. Washington: Pan America.

Adman L. 2008. Brucellosis pada sapi. http://www.m2techmicro.com. [2 Oktober 2010].

Anonimus 2. 2000. Pedoman Surveilans dan Monitoring Brucellosis pada sapi dan kerbau. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta

Bahri S, Martindah E. 2010. Lokakarya nasional ketersediaan IPTEK dalam pengendalian penyakit hewan strategis pada ternak ruminansia besar [Internet]. [diunduh pada 20 Agustus 2016]. Tersedia pada: http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/attachments/ 24770.pdf.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah sapi ternak berkurang 2.5 juta ekor. [Internet]. [diunduh pada 20 Agustus 2016]. Tersedia pada: http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/ 440865-bps--jumlah-sapi-ternak-berkurang – 2-5-juta-ekor.html.

Brubaker, R.R.1985. Mechanism of Bacterial Virulance. In Ornston, L.N., A. Balows and P. Baumann (Edits). Annual Review of Microbiology. Vol 39, Annual Review Inc. Paio Alto, California

Budiarto,Eko,Dr,SKM dan Dr Dewi Anggraeni, Pengantar Epidemiologi  ed.2  Jakarta, EGC 2002.

Canning PC, JA Roth, BL Deyoe. 1986. Release of 5 - guanosine monophosphate and adenin by Brucella abortus and their role in the intracellular survival of the bacteria. J . Infect. Dis . 154 : 467 -470

Crawford RP, JD Huber, BS Adams. 1990. Epidemiology and surveillance. In: Animal Brucellosis. Nielsen KH and JR Duncan (Eds.). Boca Raton (FL): CRC Press. pp.131–151.

Craford, R.P., J.D. Huber dan B.S. Adams. 1990. Epidemiology and Surveillance. dalam Nielsen K and J.R. Duncan (eds), Animal Brucellosis hal 132-157, CRC Press, Boca Raton.

[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 1998. Pedoman Teknis Pemberantasan Brucellosis di Indonesia. Jakarta: Ditjennak Deptan.

Doganay M, B Aygen. 2003. Brucellosis in Human: an overview. International journal of Infectious Disease 7:3

Goldbaum F.A., J Leon., J C Walach., C A Fossati. 1993. Characterisation of an 18-kilodalton Brucella Cytoplasmic Protein which Appears to be a Serological Marker of Active Infection of Both Human and Bovine Brucellosis. J. Clin. Microbiol.31:2141-2145

[Kepmentan] Keputusan menteri pertanian. 2013. Penetapan penyakit menular strategis. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.

Kolman S., M.C Maayan., G Gotesman., L.A. Roszentain., B. Wolach., R. Lang. 1991. Comparison of the Bactec and Lysis Concentration Method for the Recovery of Brucella species from Clinical Specimens. Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis. 10:647-648

Madiha. 2011. Brucellosis General Information. http://www.humenhealth.com/ brucellosis/brucellosis.asp [14 september 2011]

Noor SM. 2006. Brucellosis : Penyakit Zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa 16 : 31-39

[OIE] Office International et epizootics . 2004. Teresterial Animal Health Code. OIE

Pappas G , Javier S, Nikolaos A, Epameinondas T. 2005. New approaches to the antibiotic treatment of brucellosis. Int J Antimicrob Agents26 :101–105.

Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Singh, B. and Prasad, S., 2008, Modelling of Economic Losses due to Some Important Diseases in Goats in India, Agriculture Economics Research Review. Vol. 21 july-December 2008 pp 297-302.

Siregar EA. 2000. Pendekatan Epidemilogik Pengendalian brucellosis Untuk Meningkatkan Populasi Sapi di Indonesia. Bogor

Sriranganathan N, Seleem MN, Olsen SC, Samartino LE, Whatmore AM, Bricker B, O’Callaghan D, Halling SM, Crasta OR, Wattam AR, Purkayastha A, Sobral BW, Snyder EE, Williams KP, Xi Yu G, Ficht TA, Roop II RM, deFigueiredo P, Boyle SM, He Y, Tsolis RM. 2009. Brucella In Genome Mapping and Genomics in Animal - Associated Microbes. Jerman (DE): Berlin Springer - Verlag Berlin Heidelberg. 1- 64.

Sudarwanto, M. 2000. Brucellosis Juga Jangan Ditutup-tutupi. Infofet 68:20-21

Sulaiman I, B Poermadjaya. 2004. Paper: Uji Lapang Keamanan Vaksin  Brucella abortus strain RB51 pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua, Bogor. Pertemuan Evaluasi emberantasan Brucellosis dan Pengawasan Lalulintas Ternak dan Daging Propinsi DKI Jakarta di Cianjur.

Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Timreck,Thomas C  Phd, AN INTRODUCTION TO EPIDEMIOLOGY, 2/E, Jones and Bartlett publishers,inc Copyright @1998 dialihbahasakan  Epidemiologi :Suatu pengantar ,E/2 , alih bahasa Munaya Fauziah, SKM dkk, Jakarta, EGC,2001

Wilcock dan Manson-Bahr. 1984. Manson’s Tropical Disease. Bailliere-Tindal, London

[WHO] World Health Organization . 2006. Brucellosis in Humans and Animals. WHO Library Cataloguing -in-Publication Data. WHO Press.

Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Sydrome (PRRS) di Sumatera Utara

  Perkiraan Dampak Ekonomi Penyakit   Porcine Reproductive and Respiratory Sydrome (PRRS) di Sumatera Utara   Oleh : Iyan Kurniaw...