DETEKSI BRUCELLOSIS
PADA SAPI DENGAN METODE ROSE BENGAL TEST
(RBT) DI PROVINSI BENGKULU
Iyan Kurniawan
Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Bengkulu
Jl Depati Payung Negara Km 14 No 4 Pekan Sabtu,
Selebar
Phone : (0736) 53066, 52045, 51607, 085369955403
email : iyandvm29@gmail.com
ABSTRAK
Brucellosis merupakan
penyakit reprodksi yang disebabkan Brucella
abortus dan menyebabkan keguguran serta memiliki sifat zoonosis. Provinsi
Bengkulu telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pertanian sebagai daerah bebas
brucellosis. Dalam rangka menjaga
Bengkulu tetap bebas brucellosis dan mendukung upaya khusus pemerintah dalam
pencapaian swasembada sapi dilakasanakan pemantauan Hama Penyakit Hewan
Karantina (HPHK) dengan pengambilan sampel untuk deteksi brucellosis. Besaran sampel dihitung dengan tabel detect disease dengan prevalensi 5% di 6
kabupaten yang ditentukan secara by
judgment melalui kesepakatan dengan dinas yang membidangi peternakan dan
kesehatan hewan serta Balai Veteriner Lampung, sehingga jumlah sampel yang
diperoleh sebanyak 354 serum. Pengujian dilakukan di Laboratorium Karantina
Bengkulu dan Laboratorium Balai Veteriner Lampung dengan metode Rose Bengal Test. Hasil pengujian
diperoleh seluruh sampel negatif. hasil ini bermanfaat bagi Provinsi Bengkulu
serta Karantina Untuk tetap menjaga Bengkulu bebas Brucellosis.
Kata Kunci : Brucellosis, Pemantauan, Hama Penyakit Hewan Karantina, Rose Bengal Test
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Indonesia merupakan negara dengan
populasi penduduk yang sangat tinggi di Asia Tenggara. Tingginya populasi
penduduk harus diiringi dengan peningkatan ketahanan pangan antara lain beras,
gandum, sayur, susu serta daging. Sapi merupakan hewan penghasil daging dan
susu yang cukup digemari oleh penduduk Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik
(2013), jumlah populasi sapi dan kerbau di Indonesia mengalami penyusutan dalam
dua tahun terakhir. Penyusutan ini antara lain akibat dari kebijakan
Kementerian Pertanian yang memperketat impor sapi bakalan maupun sapi potong.
Berdasarkan Keputusan Mentri
Pertanian Nomor 5681/Kpts/PD.620/12/2011 tentang Pernyataan Provinsi Sumatra
Selatan, Bengkulu, Lampung dan Kepulauan Bangka Belitung Bebas dari Penyakit
Hewan Keluron Menular (Brucellosis)
Pada Sapi, maka dianggap perlu dilakukan upaya untuk menjaga Provinsi Bengkulu
Bebas dari penyakit brucellosis. Hal
ini sesuai dengan peran Karantina Pertanian Bengkulu dalam menjaga Provinsi
Bengkulu dari penyakit brucellosis,
yang juga tercantum dalam Peraturan Mentri Pertanian No 3238 tentang
penggolongan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK), masuk ke Provinsi Bengkulu.
Berkenaan dengan tujuan pemerintah
dalam pemenuhan kebutuhan akan protein hewani, sapi yang merupakan salah satu
sumber protein hewani tentu perlu Ditingkatkan populasinya. Peningkatan
populasi sapi dapat meningkatkan hasil ternak berupa daging, kulit ataupun air
susu. Brucellosis merupakan salah
satu penyakit ternak yang dapat menghambat peningkatan populasi karena
disamping dapat menyebabkan keguguran juga dapat menurunkan produksi dan
produktivitas ternak serta bersifat zoonosis.
Brucellosis telah
menyebar ke berbagai wilayah sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup
besar bagi pengembangan peternakan akibat kematian dan kelemahan pedet,
abortus, infertilitas, sterilitas, penurunan produksi susu dan tenaga kerja
ternak serta biaya pengobatan dan pemberantasan yang memerlukan biaya yang
cukup tinggi.
Di Indonesia, brucellosis tersebar luas di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa,
Sumatera dan Kalimantan. Pulau Bali sampai saat ini masih tergolong bebas brucellosis karena adanya pengawasan
yang ketat berupa larangan pemasukan sapi jenis lain, berkaitan dengan
kebijakan pemerintah untuk mempertahankan kemurnian sapi bali.
Brucella sp. di
Indonesia banyak menginfeksi sapi sehingga ditetapkan sebagai penyakit hewan menular strategis sesuai dengan Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts/OT/140/3/2013 (Kepmentan 2013). Penyakit ini
kurang disadari oleh peternak karena tidak menunjukkan tanda yang nyata sakit
apabila dibandingkan dengan penyakit lain. Karekteristik ini menjadikan brucellosis dapat menyebar dengan mudah.
Bila tidak dilakukan pengendalian dengan baik maka negara akan dirugikan 385
milyar/tahun (Bahri dan Martindah, 2010).
Brucellosis pada sapi
harus dikendalikan agar populasi tidak menurun dan pengendaliannya diarahkan
pada pencegahan berpindahnya dan menyebarnya
agen penyakit serta mencegah adanya penderita baru. Perkembangan ilmu
pengetahuan yang pesat menyebabkan muncul berbagai cara mendiagnosa brucellosis pada hewan maupun manusia.
Diagnosa brucellosis dapat dilakukan
dengan isolasi bakteri, uji serologis maupun biologis.
Tujuan
Tujuan
dilakukan penelitian ini adalah untuk mendeteksi secara dini keberadaan Brucella sp di Provinsi Bengkulu.
Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah, Peneliti, dan Masyarakat dalam
mendeteksi keberadaan Brucella sp.
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi Penyakit Brucelosis
Brucellosis mempunyai banyak istilah
diantaranya keluron, Mediteranean fever
(karena banyak ditemukan di daerah Mediteranian), undulant fever (karena suhu tubuh yang naik-turun selama
berminggu-minggu pada pasien yang tidak mendapat penanganan), Crimean fever (muncul pertama kali saat
perang Crimea tahun 1805-an di Malta), Maltese
fever (ditemukan sumber infeksinya oleh dokter berkebangsaan Malta, Temi
Zammit), Bang's Disease (diisolasi
pertama kali oleh drh. Benhard Bang), Brucellosis
(diketahui pertama kali sebagai agen penyakit oleh Dr. David Bruce) (Adman 2008).
Penyakit
bruselosis atau penyakit abortus pada sapi disebabkan oleh Brucella abortus (Alton 1984). Di dalam tubuh inang bersifat patogen fakultatif intraseluler
anaerobik. Jenis bakteri spesies Brucella yang juga dapat menyerang sapi antara
lain Brucella suis dan Brucella meletensis, namun organisme
tersebut biasanya tidak menunjukan gejala klinis yang jelas serta biasanya
hanya terbatas di dalam sistem retikuloendotelial
(Sriranganathan 2009). Taksomi dari B.
abortus ini adalah:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Class : Alphaproteobacteria
Ordo : Rhizobiales
Famili : Brucellaceae
Genus : Brucella
Brucellosis merupakan salah satu
penyakit zoonosa yang tersebar di seluruh bagian dunia dan masih bersifat
endemik bagi sebagian besar negara berkembang, termasuk di Indonesia (Doganay
& Aygen 2003). Brucellosis terutama
terdapat di negara-negara Mediterania di Eropa, utara dan timur Afrika, Timur Tengah,
Asia Selatan dan Asia Tengah serta Amerika Tengah dan Selatan, namun sering tidak
diketahui dan sering terjadi tanpa adanya laporan. Hanya terdapat beberapa
negara di dunia yang secara resmi bebas dari penyakit, meskipun kasus masih terjadi
pada orang-orang yang kembali dari negara endemik (WHO 2006).
Karakteristik
Brucella sp.
Bakteri dari genus Brucella,
berbentuk kokobasili dengan panjang 0,6 - 1,5 μm dan lebar 0,5- 0,7 μm,
ditemukan secara tunggal dan terkadang berpasangan dengan morfologi yang
konstan, bersifat Gram negatif, non - motil, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora dan anaerobik fakultatif. Dalam media
biakan, koloni berbentuk seperti setetes madu bulat, halus, permukaan cembung
dan licin, mengkilap serta tembus cahaya
dengan diameter 1 – 2 mm.
Secara biokimia dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis
urea, dan tidak membentuk sitrat tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan kuman
memerlukan temperatur 20 – 400 0C dengan penambahan karbondioksida
(CO2) 5- 10 % (Sulaiman dan Pormadjaya2004).
Brucella sp terdiri
atas 6 genus yaitu B.abortus, B.suis,
B.canis, B.ovis, B.melitensis dan B. neotomae . Tidak semua genus
menimbulkan penyakit, hanya 5 jenis dari genus ini yang potensial menimbulkan
penyakit pada hewan dan manusia yaitu B.abortus
pada sapi, B.suis pada babi, B.canis pada anjing, B.ovis pada domba jantan dan B. melitensis pada kambing dan domba
(Acha dan Boris 2003).
Bakteri ini adalah parasit
intraseluler atau parasit obligat karena berduplikasi di dalam sel dan
berkemampuan untuk menginvasi semua jaringan hewan sehingga dapat menyebabkan
bermacam-macam infeksi (Todar 2008). Brucella
apabila masuk kedalam sel epitel akan dimakan oleh neutrofil dan sel makrofag
masuk ke limfoglandula. Bakteriemia muncul 1–3 minggu setelah infeksi apabila
sistem tubuh tidak mampu mengatasi. Biasanya Brucella terlokalisir pada sistem reticuloendothelial seperti hati,
limpa dan sumsum tulang belakang dan membentuk granuloma (Noor 2006). Bakteri
ini memiliki 5-guanosin monofosfat yang berfungsi menghambat efek bakterisidal
dalam neutrofil, sehingga Brucella ini mampu hidupdan berkembang
biak di neutrofil (Canning et al. 1986).
Komponen dinding sel Brucella baik
pada strain halus (smooth) seperti B.
melitensis, B. abortus dan B. suis
maupun strain kasar (rough) seperti B.
canis terdiri dari peptidoglikan, protein dan membran luar yang terdiri
dari lipoprote in dan lipopolisakarida (LPS). LPS inilah yang bertanggung jawab
terhadap efek bakterisidal dalam sel makrofag dan menjadi penentu virulensi
bakteri. Brucella strain kasar
mempunyai virulensi yang lebih rendah pada manusia (Noor 2006).
Bakteri ini dapat bertahan hidup
diluar tubuh induk semang pada berbagai kondisi lingkungan dalam jangka waktu
tertentu. Kemampuan daya tahan hidup kuman Brucella
pada tanah kering adalah 4 hari, tanah lembab 66 hari dan tanah becek 151-185
hari (Crawford et al. 1990). Pada kotoran atau limbah kandang bagian bawah
dengan suhu yang relatif tinggi bertahan selama 2 hari, pada air minum ternak
bertahan selama 5 –114 hari dan pada air limbah selama 30 –150 hari (Noor
2006).Dalam bahan organik (kotoran, tanah) Brucella
sp juga tahan terhadap pengeringan (Madiha 2011). Pada susu bakteri Brucella sp dapat bertahan selama
beberapa hari di dalam susu dan beberapa minggu atau bulan dalam produk susu
(Acha dan Boris 2003).
Penyebaran
Penyakit
Menurut Subronto (1995) penularan
penyakit bisa terjadi akibat keluarnya bakteri Brucella dalam jumlah yang sangat besar setelah keluron atau
melalui cairan lochia setelah beranak. Pada sapi penderita, pengeluaran kuman
melalui cairan lochia umumnya tidak lama
waktunya. Selain itu, bakteri ini juga dapat dikeluarkan melalui air susu,
urine dan tinja. Dalam keadaan terlindungi dari sinar matahari secara langsung,
pada suhu kurang dari 25 0C, kuman dapat bertahan hidup sampai tiga
bulan di air susu, urine dan tinja.
Menurut Ressang (1984) Brucella abortus mudah terbunuh oleh
sinar matahari tetapi dalam lingkungan yang cocok bakteri dapat bertahan hidup
sampai enam bulan. Bakteri ini juga dapat tahan hidup pada bahan-bahan olahan
dari hasil ternak selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung
bagaimana cara pengolahan hasil ternak tersebut. Brucella abortus dapat
bertahan hidup selama 142 hari di mentega dan dapat diisolasi dari es krim yang
sudah dibekukan selama satu bulan.
Wilcock dan Manson Bahr (1984) menyatakan Brucella
abortus dapat hidup selama 37 hari di air tawar dan air laut, selama 43
hari di tanah kering dan seama 72 jam di tanah lembab. Di udara yang terkena
banyak sinar matahari Brucella militensis tidak mampu bertahan lama. Proses pembuatan
es krim dan keju tidak merusak Brucella
mellitensis. Brucella suis dapat diisolasi dari karkas setelah 21 masa
pendinginan.
Brucella mempunyai
daya tahan hidup pada tahan di luar suhu kamar selama empat hari (Crawford dkk,
1990). Pada tanah lembab Brucella
mampu bertahan hidup 66 hari dan pada tanah becek 151 – 185 hari. Pada kotoran
ternak atau limbah kandang , bakteri ini bertahan selama 8-240 hari, sedangkan
pada timbunan kotoran ternak bagian bawah yang suhunya relatif tinggi Brucella bertahan selama dua hari. Brucella dapat bertahan selama 5 – 115
hari pada air minum dan selama 30 – 150 hari pada air limbah. Usaha untuk
mencegah dan membatasi penularan atau penyebaran dapat dilakukan dengan memutus
siklus hidup bakteri diluar tubuh induk semang melalui upaya sanitasi dan higiene.
Tabel 1. Daya tahan hidup Brucella di luar induk semang
Tempat
|
Suhu
|
Waktu
|
Sinar
matahari langsung
Tanah
Kering
Tanah basah
Air keran
Air susu
Urine
Feses
Cairan
alat kelamin
Fetus
Es Krim
Mentega
Keju
|
Suhu kamar
Suhu kamar
Suhu kamar
Suhu kamar
Suhu kamar
Suhu kamar
Kotak es
0 0C
8 0C
Suhu kamar
|
4,5 jam
1-2 Bulan
2-3 Bulan
2-3 Bulan
2-4 Hari
2-4 Hari
3-4 Bulan
3-4 Bulan
6-8 Bulan
1 Bulan
1-2 Bulan
2 Bulan
|
Sumber : Crawford dkk (1990)
Brucella dapat
menular karena adanya kontak langsung dengan ternak, terutama dengan bagian
puting susu, uterus, plasenta hewan dan cairannya serta fetus yang
diabortuskan. Subronto (1995) menyatakan bahwa sapi dalam suatu peternakan
menjadi tertular brucellosis karena pemilik memasukan sapi baru dari luar. Sapi
baru dapat berjenis kelamin jantan atau betina, pedet atau dewasa, atau sapi
bunting penderita infeksi laten. Petunjuk awal adanya infeksi disuatu
peternakan ditandai dengan keluron mewabah, yang terjadi pada sapi tua maupun
muda dan dalam berbagai tingkat umur kebuntingan. keluron kebanyakan terjadi
kira kira pada masa pertengahan kebuntingan.
Menurut Sudarwanto (2000), sebagai
akibat brucellosis, anak sapi dapat
lahir sempurna tetapi lemah. Adakalanya plasenta tertinggal disertai infeksi
dengan akibat sapi menjadi steril atau mandul. Subronto (1995) menyatakan bahwa
meski kesembuhan sempurna dimungkinkan, kebanyakan sapi akan tetap mengalami infeksi
selama hidupnya. Sapi-sapi tersebut tidak akan mengalami keluron lagi setelah
pernah mengalami keluron sekali atau dua kali. Ressang (1984) juga menyatakan,
sapi jarang menderita keluron lebih dari satu kali, meskipun pada kebuntingan
berikutnya ada infeksi plasenta. Sapi demikian dapat beranak dengan anak yang
sehat meskipun ukurannya lebih kecil dari normal. Sewaktu partus, sapi-sapi ini
juga menyebarkan Brucella abortus
melalui cairan kantung anak (plasenta).
Subronto (1995) menyatakan bahwa
penyakit Brucellosis pada sapi tersebar diseluruh bagian dunia. Penyakit
tersebut telah dapat diberantas di negara-negara Skandinavia, sedangkan di
negara-negara Eropa lainnya, Amerika Utara dan Australia kejadiannya sudah
sangat menurun. Di negara-negara Asia kejadian rata-rata penyakit hanya
beberapa persen saja, tetapi di kandang-kandang tertentu kejadiannya dapat
mencapai 50-60%.
Patogenesis
Sapi dapat tertular brucellosis melalui saluran pencernaan setelah
memakan atau meminum bahan (makanan) yang tercemar oleh bahan yang diabortuskan.
Sedangkan manusia dapat tertular setelah minum susu sapi atau kambing yang terinfeksi
tanpa dipasteurisasi terlebih dahulu. Dengan suatu percobaan dapat dibuktikan
bahwa penularan pada sapi dapat juga melalui selaput lendir konjuntiva, goresan
pada kulit atau dengan inseminasi yang semennya tercemar oleh kuman brucella (Brubaker, 1985).
Setelah kuman masuk kedalam tubuh,
akhirnya menyebar dan menetap pada organ tubuh melalui pembuluh darah dan limfe.
Terkumpulnya kuman didalam saluran reproduksi terutama diplacenta dan endometrium
sapi yang sedang bunting sangat didukung oleh adanya zat penumbuh yang dikenal dengannama
eritritol (sifat spesifitas jaringan).
Pada bentuk infeksi yang akut, kuman
brucella selain bermukim didalam placenta,juga di dalam lambung dan paru-paru foetus (janin) dan dikeluarkan bersama-sama
foetus dan cairan uterus waktu abortus.
Pada bentuk infeksi yang kronis, pada sapi betina dewasa kuman bermukim di dalam
kelenjar susu, kelenjar limfe supramammae, retrofaringeal, iliaka interna dan eksterna.
Oleh karena itu kuman dapat dikeluarkan bersama air susu. Pada sapi jantan, kuman
brucella bermukim di dalam testis, epididimis, vasdiferen dan kelenjar vesikularis,
sehingga kuman dapat dikeluarkan bersama semen (mani) sewaktu ejakulasi (Nicoletti,1980;Partodihardjo,1980).
Gejala
Klinis
Menurut Wilcock dan Manson-Bahr
(1984), gejala umum pada manusia yang menderita brucellosis adalah kelemahan dan kelelahan. Gejala utama dari
penyakit ini adalah demam tinggi terutama waktu malam hari. Gejala lain adalah
anoreksi, kehilangan berat badan dan pusing, sakit dibelakang leher yang
kadang-kadang diikuti dengan spondylitis, sakit perut serta pembesaran hati dan
limpa. Gejala sakit di fossa iliaca kanan yang disebabkan oleh keterlibatan
glandula mesenterika, mirip dengan gejala radang apendiks, sedangkan sakit
sendi sering dikelirukan dengan inflamasi. Gabungan semua gejala ini merupakan
gejala mencolok pada brucellosis.
Menurut Ressang (1984) brucellosis
pada manusia berjalan sangat lambatdan memahun ditandai dengan tanda-tanda
klinis demam, berkeringat, obstipasi atau diare, nyeri rematik, bengkak
persendian dan orchitis.
Menurut Subronto (1995), gambaran
klinis yang terjadi pada manusia sering terjadi pada sapi. Satu-satunya gejala
klinis yang nyata pada sapi adalah adanya keluron. Kejadian keluronpun mungkin
tikan akan dialami oleh hewan tertular yang telah toleran. Keluron pada masa bunting
muda seperti seperti ditemukan pada vibriosis dan trichomoniasis tidak
ditemukan pada penderita brucellosis. Pada brucellosis, retensi membran janin
dan metritis merupakan hal yang banyak ditemukan setelah keguguran janin.
Menurut Ressang (1984), brucellosis
pada sapi jantan dapat berjangkit tanpa menimbulkan gejala klinis dan adanya
penyakit ini hanya dapat ditemukan dengan pemeriksaan serologik. Sebaliknya,
sapi betina yang menderita brucellosis dapat memperlihatkan gejala umum berupa
abortus dengan atau tanpa retensio secundinarium yang diikuti oleh pengeluaran
cairan bernanah dari alat kelamin. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
kemajiran. Pada sapi perah, brucellosis menyebabkan penurunan produksi susu
secara mencolok karena mastitis. Pada sapi jantan, brucellosis menyebabkan
epididimitis, orchitis dan juga kemajiran.
Diagnosis
dan Pengobatan Penyakit
Berbagai metode uji telah
dikembangkan untuk mendiagnosa brucellosis
selain mengamati gejala klinis yang timbul. Uji yang umum digunakan untuk
deteksi brucellosis antara lain uji Rose Bengal Test (RBT), serum agglutination test (SAT), Enzyme Link Imunosorbent Assay (ELISA), Fluorescence polarisation assay, Complement Fixation Test (CFT), Polimerase Chain Reaction (PCR) dan Brucella Milk Ring Test (BMRT) serta
isolasi dan identifikasi bakteri penyebab. Masing –masing uji memiliki
keterbatasan etrutama bila dilakukan untuk menapis hewan secara individual (OIE
2008). Metode uji serologis yang dianjurkan OIE untuk perdagangan internasional
adalah Buffer Brucellla Antigen Test,
CFT, ELISA dan Fluorescence polarisation
assay.
Untuk di Indonesia berdasarkan
Kepmentan No. 828/Kpts/OT.210/10/98 Pedoman Pemberantasan Penyakit Hewan
Keluron Menular (Brucellosis) pada
Ternak, untuk kepentingan pengamatan penyakit secara serologis dilakukan
melalui pengujian dengan metode RBT, MRT dan CFT serta metode lain yang dapat
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan (Ditjennak 1998). Isolasi
B.abortus pada sapi dilakukan dengan mengirimkan cairan, membran fetus, susu,
kelenjar limfe supramamaria dalam keadaan segar dan dingin ke
laboratorium (Nielsen 2002).Pada manusia gambaran
klinis dan lesi yang ditimbulkan oleh infeksi brucellosis sering sulit
dikenali, sehingga peneguhan diagnosis harus didukung dengan uji laboratorium.
Isolasi bakteri dari darah merupakan metode standar tetapi hanya efektif pada
fase akut dan memerlukan waktu yang lama (Kolman et al. 1991; Noor 2006). Dapat
pula dilakukan dengan metode PCR tetapi masih memerlukan standarisasi dan
evaluasi lebih lanjut pada brucellosis kronis. Secara serologis dapat juga
digunakan ELISA dan telah digunakan secara luas serta metode Western-Blot untuk
membedakan infeksi brucellosis yang telah lama atau subklinik (Goldbaum et al.
1993; Noor 2006).
Pengobatan brucellosis pada manusia
dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti tetrasiklin, doksisiklin,
streptomisin dan rifampisin selama minimal 6 minggu. Pada anak dibawah 8 tahun
dan ibu hamil sebaiknya diberikan rifampisin dan trimetoprim - sulfamethoxazole(TMP-SMX)
selama 6 minggu (WHO 2006).
Pada hewan khususnya sapi kasus
brucellosis umumnya tidak berespon baik terhadap pengobatan. Oleh karena itu
tindakan yang dilakukan didasarkan pada tinggi rendahnya preva
lensi penyakit di suatu daerah (Papas et al. 2005).
Kerugian Ekonomi
Akibat Brucellosis Pada Sapi
Kerugian ekonomi akibat brucellosis sangat besar,
terutama didaerah endemis. Kerugian ini ada yang berdampak langsung pada sistem
produksi peternakan serta pengeluaran ekstra dan dampak tidak langsung. Dalam
penghitungan kerugian ekonomi digunakan Parameter epidemiologi, Parameter
ekonomi, hasil study dan penelusuran pustaka, data survey Laboratorium dan
kondisi penanganan saat ini.
Dampak Langsung
Dampak
langsung pada sistem produksi peternakan adalah penurunan produksi susu pada
sapi perah, penurunan berat badan pada sapi potong, adanya perinatal
mortality, abortus, infertilitas dan penurunan harga sapi, selain itu
ada pengeluaran ekstra yang disebabkan karena peternak terpaksa tukar tambah
ternak akibat abortus atau terjadi infertilitas. Penurunan produksi susu dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu; akibat langsung kehilangan produksi susu, kehilangan
susu akibat meningkatnya interval beranak dan kehilangan susu akibat
meningkatnya kejadian abortus. Penurunan berat badan juga dibedakan menjadi 3
penyebab yaitu; penurunan berat badan sebagai akibat langsung, kehilangan berat
badan sebagai akibat meningkatnya periode interval beranak dan kehilangan berat
badan akibat meningkatnya kejadian abortus ( Singh and Prasad, 2008). Menurut
Bernues at al. 1996 angka abortus pada brucellosis berdasarkan berbagai
studi adalah antara 10%- 50%, tetapi biasanya diambil nilai yang paling sering
muncul yaitu 15%. Infertilitas berakibat keterlambatan kebuntingan berikutnya,
di peternakan rakyat Indonesia dapat berkisar antara 3-5 bulan, sehingga dapat
diambil rata-rata 4 bulan. Brucellosis menyebabkan perinatal mortality,
beberapa literatur menyebutkan kisaran angka 5% – 20% dan dapat diambil nilai
yang paling sering muncul adalah 10%. Perlu diperhitungkan juga opportunity
cost merupakan biaya kenaikan jumlah pakan karena berat badan yang menurun,
hilangnya ternak muda, perawatan dan pengobatan dan lain-lain yang diasumsikan
20% dari biaya pemeliharaan sapi. Pengeluaran ekstra yang harus dikeluarkan
adalah biaya program pencegahan, pengendalian dan pemberantasan, diantaranya
adalah penggantian biaya untuk tukar tambah ternak, disposal dan desinfeksi,
sosialisasi kepada masyarakat, surveilans dan vaksinasi. Selain hal-hal
tersebut karena brucellosis merupakan penyakit zoonosis maka akan ada kergian
sebagai dampak penurunan produktivitas kerja akibat sakit yang diderita pekerja
atau peternak.
Dampak Tidak Langsung
Kerugian ekonomi sebagai bentuk pengaruh tidak
langsung terhadap ekonomi daerah diantaranya adalah; penurunan peluang
penjualan sapi keluar daerah akibat seleksi terhadap daerah asal sapi,
penurunan pendapatan daerah (PAD) akibat menurunnya penjualan sapi keluar
daerah dan penurunan image daerah tentang kualitas sapi.
Penurunan image daerah tersebut akan membutuhkan waktu
yang lama untuk memperbaikinya. Untuk memperbaiki semua dampak tidak langsung
tersebut maka perlu program pencegahan, pengendalian dan pemberantasan yang
terpadu dan terukur sesuai dengan kaidah-kaidah epidemiologi.
METODE
PENELITIAN
Sampel Yang
Diperoleh
Besaran sampel dihitung dengan tabel
detect disease dengan prevalensi 5% di 6 kabupaten yang ditentukan secara by
judgment melalui kesepakatan dengan dinas yang membidangi peternakan dan
kesehatan hewan serta Balai Veteriner Lampung, sehingga jumlah sampel yang
diperoleh sebanyak 354 serum. Pengujian dilakukan di Laboratorium Karantina
Bengkulu dan Laboratorium Balai Veteriner Lampung dengan metode Rose Bengal
Test.
Pemeriksaan
Rose Bengal Test (RBT)
Ø Petugas
laboratorium memakai APB (masker, glove, jas lab,sandal lab)
Ø Peralatan
dan bahan yang diperlukan sudah disiapkan
Ø Plate sudah
disiapkan, dengan menggunakan mikropipet dan tip mikropipet diambil serum
sebanyak 0,03 mikron, ditaruh diatas kotak plate
Ø Tip
mikropipet yang sudah dipakai ditaruh dalam kotak yang telah diisi air
sabun/detergen
Ø Selanjutnya
diulang lagi pengisian pada plate sampai semua bagian/kotak terisi serum (35
sampel serum)
Ø Kemudian
dilanjutkan pemberian Antigen RBT disamping masing2 serum yang ada di kotak
plate, diteteskan dengan menggunakan pipet tetes antigen, 1 tetes sama dengan
0,03 mikron (35 sampel serum sudah terisi dengan Antigen RBT)
Ø Dengan
menggunakan pengaduk kaca, dicampur antara serum dan antigen RBT, dari kotak
pertama sampai dengan kotak ke 35, dimana setiap pindah mengaduk dari satu
kotak ke kotak yang berikutnya, pengaduk kaca dibersihkan dengan tissu
Ø Setelah
diaduk/dicampur ke 35 sampel tadi, kemudian dilakukan pengamatan dengan
menggoyang-goyangkan plate dengan arah memutar, kekiri dan kekanan
Ø Apabila uji
RBT positip, akan ditandai dengan adanya bentukan seperti PASIR, apabila
negatip tidak ada bentukan seperti pasir, tidak ada perubahan.
Ø Apabila ada
yang positip, serum dari sapi yang
positip akan di uji RBT ulang lagi dan apabila hasilnya tetap positip akan
dilanjutkan pengujian CFTSetelah semua selesai, plate dibersihkan dan terakhir
dibersihkan dengan alkohol
Ø Antigen
dikembalikan ke lemari pendingin (tidak di freezer),selama pengujian antigen
tetap ditaruh dikotak yang berisi air dingin/es
Ø Alat-alat
dibersihkan, diletakkan kembali pada posisi masing-masing
Ø Petugas
Laboratorium, melepas APD dan bersih-bersih.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan yang dilakukan di
Laboratorium Karantina Bengkulu sebanyak 354 vial serum sapi betina yang
diambil pada 6 kabupaten /kota di wilayah Provinsi Bengkulu menunjukan bahwa Seluruh
sampel negatif pada pemeriksaan Rose Bengal Test (RBT) (100%), seperti
ditunjukan pada tabel 1. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan sampel serum
yang dikirim dan di uji di Balai Veteriner Lampung (hasil pengujian terlampir).
Tabel 1. Tabel Pemeriksaan Sampel Serum dari 6
Kabupaten / Kota Provinsi Bengkulu
No
|
Kabupaten/Kota
|
Intepretasi
|
Positif
|
Negatif
|
1
2
3
4
5
6
|
Kabupaten
Muko-Muko
Kabupaten
Bengkulu Utara
Kabupaten
Rejang Lebong
Kota
Bengkulu
Kabupaten
Seluma
Kabupaten
Bengkulu Selatan
|
-
-
-
-
-
-
|
59
59
59
59
59
59
|
Jumlah
|
0
|
354
|
Pemeriksaan
bakteriologis terhadap Brucellosis pada dasarnya dapat dilakukan (Siregar,2000).
Hanya saja pemeriksaan tersebut sangat sulit dan relatif memakan waktu banyak
(Siregar, 2000). Dengan demikian alternatif pemeriksaan secara serologis lebih
mudah dilakukan, dengan memperhatikan ketelitian pengamatan dan interpretasi
(Siregar, 2000). Uji serologis yang dapat dilakukan adalah menggunakan Rose
Bengal Presipitation Test (RBT). Kendala dalam uji serologis ini adalah
munculnya reaksi positif palsu, reaksi silang dengan antibodi yang ditimbulkan
oleh bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica, E. coli, Vibrio cholerae
(Siregar, 2000). Penilaian uji serologis Brucellosis akan sulit dilakukan tanpa
ada pengetahuan mengenai respon antibodinya (Anonimus 2, 2000). Antibodi adalah
serum protein yang dihasilkan oleh sel limfosit sebagai respons terhadap
infeksi atau vaksinasi (Anonimus 2, 2000). Pada hewan ruminansia, serum protein
yang disebut immunoglobulin diklasifikasikan menjadi IgG1, IgG2, IgM dam IgA
(Anonimus 2, 2000). Fungsi immunoglobulin adalah menginaktifkan dan
meneleminasi antigen dengan jalan mengikatnya, sehingga mengakibatkan
aglutinasi, antigen lebih peka terhadap fagositosis dan merupakan awal reaksi dari
ikatan komplemen, sehingga menyebabkan sel menghancurkan diri (lysis) (Anonimus
2, 2000). Ditjen Bina Produksi Peternakan menetapkan bahwa , semua CFT sebagai
uji serologis akhir untuk menetapkan ternak menderita Brucellosis dan hanya
hasil negatif yang diperbolehkan dilalulintaskan (Siregar, 2000). Dalam
melaksanakan uji tapis secara serologic MRT, RBT dan CFT dapat dilaksanakan
(Siregar, 2000).
Uji RBT memiliki
sensitivitas yang tinggi sehingga berguna untuk mendiagnosa penyakit
brucellosis pada daerah dengan tingkat prevalensi yang rendah tetapi presentasi
vaksinasi cukup tinggi (Anonimus 1, 2004). Uji RBT dapat mendeteksi antibodi
yang terbatas pada IgG terhadap B.abortus yang spesifitasnya sangat tergantung
pada pH media yang digunakan (Anonimus 1, 2004).
Menurut Siregar (2000),
Rose Bengal Test (RBT) dianggap sangat sensitive terutama pada sapi yang telah
divaksinasi. Oleh karena itu hasil uji positif harus dilanjutkandengan
pemeriksaan uji Complement Fixation Test (CFT), yang dianggap paling sensitive
terhadap Brucellosis.
Pada tabel 1
pemeriksaan RBT pada sapi betina di bengkulu dinyatakan negatif, secara
teoritis apabila hasil RBT negatif dapat pula disebabkan karena penyakit lain,
maka di haruskan pemeriksaan ulang tiga bulan yang akan datang. Seperti
dikatakan Siregar (2000), bahwa sapi potong dengan uji RBT negatif maka
dilakukan pengujian RBT yang kedua dengan interval 90 hari.
Thomas C Timreck (1998)
mendefinisikan Prevalensi adalah jumlah kasus penyakit, orang ternfeksi atau
kondisi pada satu waktu tertentu, dihubungkan dengan besar populasi darimana
kasus berasal.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi prevalensi suatu
populasi diantaranya :
- Penyakit
baru muncul dipopulasi sehingga angka insidensi meningkat, jika
insidensi meningkat maka angka prevalensi juga meningkat.
- Durasi penyakit mempengaruhi prevalensi. Jika
penyakit memiliki durasi yang panjang , anka prevalensi juga lebih lama
pada posisi yang tinggi.
- Intervensi
dan perlakukan mempunyai efek pada prevalensi. Jika perlakukan
yang diberikan berhasil menurunkan jumlah kasus , durasi kasus, durasi
penyakit dan jumlah kasus akan menurun sehingga prevalensi juga
menurun.Harapan hidup yang lebih lama berarti dapat meningkatkan durasi
dan dapat meningkatkan prevalensi penyakit kronis.
Ukuran prevalensi suatu penyakit dapat digunakan untuk
( Budianto,2002) :
- Menggambarkan
tingkat keberhasilan program pemberantasan penyakit.
- Penyusun
perencanaan pelayanan kesehatan, misalnya ketersediaan sarana obat-obatan,
tenaga dan ruangan.
- Menyatakan
banyaknya kasus yang dapat didiagnosis.
Dengan dasar inilah ditentukan bahwa nilai prevalensi
pengambilan sampel di Provinsi Bengkulu sebesar 5%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Provinsi
bengkulu sudah di tetatapkan sebagai daerah bebas brucellosis, sehingga peran
serta Karantina Pertanian Bengkulu sangat penting dalam menjaga Bengkulu tetap
bebas brucellosis. Upaya untuk menjaga Bengkulu bebas brucellosis adalah dengan
melakukan deteksi dini pemeriksaan sampel serum darah sapi yang ada di bengkulu
melalui program pemantauan. Metode pemeriksaan yang cepat dan mempunyai
sensitifitas tinggi menggunakan Rose Bengal Test (RBT).
Pengambilan
sampel dengan nilai prevalensi 5 % dirasa kurang menggambarkan tingkat
keberhasilan. Diharapkan penentuan nilai Prevalensi bisa dibawah 5 %
dikarenakan Provinsi Bengkulu sudah ditetapkan sebagai daerah bebas
brucellosis.
DAFTAR PUSTAKA
Acha PN dan
Boris S. 2003. Zoonoses and Communicable Disease Com mon to Man and Animals
Volume 1: Bacterioses and Mycoses. Ed ke-3. Washington: Pan America.
Adman L.
2008. Brucellosis pada sapi. http://www.m2techmicro.com. [2 Oktober 2010].
Anonimus 2. 2000.
Pedoman Surveilans dan Monitoring Brucellosis pada sapi dan kerbau. Direktorat
Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.
Jakarta
Bahri S,
Martindah E. 2010. Lokakarya nasional ketersediaan IPTEK dalam pengendalian
penyakit hewan strategis pada ternak ruminansia besar [Internet]. [diunduh pada
20 Agustus 2016]. Tersedia pada:
http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/attachments/ 24770.pdf.
[BPS] Badan
Pusat Statistik. 2013. Jumlah sapi ternak berkurang 2.5 juta ekor. [Internet]. [diunduh
pada 20 Agustus 2016]. Tersedia pada: http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/
440865-bps--jumlah-sapi-ternak-berkurang – 2-5-juta-ekor.html.
Brubaker,
R.R.1985. Mechanism of Bacterial Virulance. In Ornston, L.N., A. Balows and P.
Baumann (Edits). Annual Review of Microbiology. Vol 39, Annual Review Inc. Paio
Alto, California
Budiarto,Eko,Dr,SKM
dan Dr Dewi Anggraeni, Pengantar Epidemiologi ed.2 Jakarta, EGC
2002.
Canning PC,
JA Roth, BL Deyoe. 1986. Release of 5 - guanosine monophosphate and adenin by
Brucella abortus and their role in the intracellular survival of the bacteria.
J . Infect. Dis . 154 : 467 -470
Crawford RP,
JD Huber, BS Adams. 1990. Epidemiology and surveillance. In: Animal
Brucellosis. Nielsen KH and JR Duncan (Eds.). Boca Raton (FL): CRC Press.
pp.131–151.
Craford,
R.P., J.D. Huber dan B.S. Adams. 1990. Epidemiology and Surveillance. dalam
Nielsen K and J.R. Duncan (eds), Animal Brucellosis hal 132-157, CRC Press,
Boca Raton.
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 1998.
Pedoman Teknis Pemberantasan Brucellosis di Indonesia. Jakarta: Ditjennak Deptan.
Doganay M, B
Aygen. 2003. Brucellosis in Human: an overview. International journal of
Infectious Disease 7:3
Goldbaum
F.A., J Leon., J C Walach., C A Fossati. 1993. Characterisation of an
18-kilodalton Brucella Cytoplasmic Protein which Appears to be a Serological
Marker of Active Infection of Both Human and Bovine Brucellosis. J. Clin.
Microbiol.31:2141-2145
[Kepmentan]
Keputusan menteri pertanian. 2013. Penetapan penyakit menular strategis.
Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.
Kolman S.,
M.C Maayan., G Gotesman., L.A. Roszentain., B. Wolach., R. Lang. 1991.
Comparison of the Bactec and Lysis Concentration Method for the Recovery of
Brucella species from Clinical Specimens. Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis.
10:647-648
Madiha.
2011. Brucellosis General Information. http://www.humenhealth.com/
brucellosis/brucellosis.asp [14 september 2011]
Noor SM.
2006. Brucellosis : Penyakit Zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia.
Wartazoa 16 : 31-39
[OIE] Office
International et epizootics . 2004. Teresterial Animal Health Code. OIE
Pappas G ,
Javier S, Nikolaos A, Epameinondas T. 2005. New approaches to the antibiotic
treatment of brucellosis. Int J Antimicrob Agents26 :101–105.
Ressang,
A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Singh, B. and Prasad, S., 2008, Modelling of Economic Losses due to Some Important Diseases in Goats in
India, Agriculture Economics Research Review. Vol. 21 july-December 2008
pp 297-302.
Siregar EA. 2000.
Pendekatan Epidemilogik Pengendalian brucellosis Untuk Meningkatkan Populasi
Sapi di Indonesia. Bogor
Sriranganathan N, Seleem MN, Olsen SC, Samartino LE,
Whatmore AM, Bricker B, O’Callaghan D, Halling SM, Crasta OR, Wattam AR,
Purkayastha A, Sobral BW, Snyder EE, Williams KP, Xi Yu G, Ficht TA, Roop II
RM, deFigueiredo P, Boyle SM, He Y, Tsolis RM. 2009. Brucella In Genome Mapping
and Genomics in Animal - Associated Microbes. Jerman (DE): Berlin Springer - Verlag
Berlin Heidelberg. 1- 64.
Sudarwanto,
M. 2000. Brucellosis Juga Jangan Ditutup-tutupi. Infofet 68:20-21
Sulaiman I,
B Poermadjaya. 2004. Paper: Uji Lapang Keamanan Vaksin Brucella abortus strain RB51 pada Sapi Perah
di Kecamatan Cisarua, Bogor. Pertemuan Evaluasi emberantasan Brucellosis dan
Pengawasan Lalulintas Ternak dan Daging Propinsi DKI Jakarta di Cianjur.
Subronto.
1995. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Timreck,Thomas
C Phd, AN INTRODUCTION TO EPIDEMIOLOGY, 2/E, Jones and Bartlett
publishers,inc Copyright @1998 dialihbahasakan Epidemiologi :Suatu pengantar
,E/2 , alih bahasa Munaya Fauziah, SKM dkk, Jakarta, EGC,2001
Wilcock dan
Manson-Bahr. 1984. Manson’s Tropical Disease. Bailliere-Tindal, London
[WHO] World
Health Organization . 2006. Brucellosis in Humans and Animals. WHO Library
Cataloguing -in-Publication Data. WHO Press.